Thursday, January 1, 2015

I'm In Love | I'm Terrified



{1}

Perjalanan bisnis ditambah serangkaian jadwal lain yang membosankan, keseharian saya. Jika saya tidak tahu caranya bersenang-senang, maka saya akan terjebak dalam kehidupan yang sia-sia di tengah orang-orang yang hanya sibuk memikirkan cara memperbanyak uang.
Pandangan saya sedang mencari-cari kesenangan yang bisa menyegarkan otak saya ketika akhirnya pandangan saya terhenti pada sosokmu. Mengundang senyum saya saat pandangan saya secara sengaja menikmati diam-diam lekuk wajahmu yang anggun dan tenang.
Tak banyak penumpang di kelas VIP yang bisa dilihat dan dinikmati kecuali kamu. Bukannya tidak sopan, tetapi saya sungguh-sungguh sedang bosan, dan kamu tidak bisa untuk tidak menjadi pusat perhatian. Dan memang hanya kamu yang bisa saya pandangi diam-diam dari kursi tempat saya berada, karena kamu berada tepat di sana.
Kamu duduk di kursi yang berseberangan di sebelah kiri saya. Di kursi penumpang yang nyaman. Sendirian menikmati bacaanmu, sebuah majalah fashion yang kamu letakkan di pangkuanmu. Di belakangmu seorang seorang wanita Jepang sedang mengisahkan sebuah dongeng kepada putri kecilnya yang tampak antusias mendengarkan.
"Kasihan sekali Cinderella. Dia sangat baik hati, tapi ibu tiri dan dua saudari tirinya sangat jahat padanya. Okasan[1], apakah Cinderella akhirnya akan bahagia bersama Pangeran?" gadis kecil itu bertanya pada ibunya yang duduk di sampingnya.
Kamu tampak terganggu oleh celoteh gadis kecil itu. Kamu mengangkat kepala dari bacaanmu dan mendongak ke arah penumpang di kursi di belakangmu. "Hey, nak, kau mau tahu seperti apa kisah Cinderella yang sebenarnya?" tanyamu.
Gadis kecil dan ibunya menatap ke arahmu. Si gadis kecil mengangguk polos.
Kamu tersenyum. "Apa kau tahu, nak, Cinderella yang sesungguhnya tidaklah baik hati?" tanyamu. Mengundang penasaran saya yang juga tanpa sengaja ikut mendengarkan.
"Tidak baik hati?" gadis kecil itu bertanya tak mengerti. Ia pasti baru pertama kali mendengar bahwa Cinderella tidaklah baik hati, sama seperti saya.
"Cinderella berasal dari keluarga kaya, tinggal di istana dan dilayani banyak pembantu. Ia seorang pemalas yang sangat suka sekali berpesta," kamu memulai ceritamu.
"Setelah ibunya meninggal, Cinderella tinggal bersama ayahnya, ibu tiri dan dua saudari tirinya. Cinderella masih berkuasa di rumahnya hingga sang Ayah juga pergi meninggalkannya seperti ibu kandungnya. Cinderella kemudian terpaksa hidup bersama dengan ibu tiri dan dua saudari tirinya. Keluarga tirinya sangat senang berfoya-foya, mereka tidak senang bekerja, yang mereka lakukan hanya makan dan minum, dan tidur, dan berbelanja menghabiskan uang. Karena itulah, akhirnya keluarga mereka jatuh bangkrut, para pembantu dipecat, istana mereka dijual, dan perusahaan milik ayah Cinderella ditutup. Karena ibu tiri dan dua saudari tiri Cinderella sangat malas, maka mereka memaksa Cinderella bekerja untuk mencari uang, supaya mereka bisa tetap makan dan berfoya-foya. Cinderella pun keluar dari rumah dan bekerja, ia mengenakan pakaian bagus dan berdandan layaknya gadis kaya. Cinderella bekerja dengan caranya. Ia menghadiri berbagai pesta, mengaku sebagai gadis kaya dan menggoda banyak pria kaya di sana. Para pria yang tergoda olehnya pun memberikan apa saja yang diinginkan Cinderella. Namun Cinderella tak pernah merasa cukup, karena pria-pria yang tergoda olehnya tidak cukup kaya di matanya. Cinderella tidak memerlukan pria-pria seperti itu, ia memerlukan seorang Pangeran sungguhan." Kamu melanjutkan terus ceritamu tanpa peduli bahwa gadis kecil yang mendengarkanmu sudah menampakkan wajah jenuh teramat sangat.
"Kemudian, dalam suatu pesta Cinderella berkenalan dengan seorang Pangeran sungguhan, seperti biasa Cinderella memperkenalkan diri sebagai putri bangsawan yang sangat kaya. Cinderella pun berhasil membuat si Pangeran jatuh cinta padanya. Si Pangeran lalu membawa Cinderella ke istananya dan memperkenalkan Cinderella pada keluarganya. Keluarga Pangeran menyukai Cinderella dan mereka pun merencanakan pernikahan bagi Pangeran dan Cinderella. Cinderella sangat bahagia, karena ia akan segera terbebas dari kehidupan miskin. Namun sehari sebelum pernikahan dilangsungkan, kebenaran tentang Cinderella terungkap, kebenaran bahwa ia berasal dari keluarga miskin, bahwa ia bukan gadis bangsawan seperti yang dikatakannya ketika berkenalan dengan Pangeran. Kebohongannya membuat Pangeran marah. Keluarga Pangeran pun benci karena kebohongannya dan terutama karena kemiskinannya. Akhirnya Cinderella diusir oleh Pangeran dan keluarganya dari istana. Cinderella pun kembali ke Desa dengan sangat sedih—"
"Okasan!!! Aku tidak mau mendengar cerita Cinderella!!!" si gadis kecil yang sedang mendengarkan ceritamu tiba-tiba berteriak dan meledaklah tangisnya. "Aku tidak mauuuu! Huhuhuuu..."
"Ah! Miyu, jangan menangis," sang Ibu panik.
"Di Desa, Cinderella pun melakukan apa yang seharusnya dilakukannya, menjadi pembantu bagi keluarga tirinya. Dan bekerja, bukan dengan cara menggoda pria tetapi dengan memulai usaha ayahnya dari awal lagi," kamu tetap melanjutkan ceritamu tanpa peduli pada pendengar kecilmu yang telah berhasil kamu buat menangis putus asa.
"Apa yang kau lakukan? Hentikan ceritamu! Kau membuat putriku menangis." Ibu si gadis kecil marah. Namun kamu tampak tidak peduli.
"Hey, nak, diamlah!" Bentakmu dengan suara tinggi yang tak diduga hingga membuat si gadis kecil terdiam seketika. Kamu tak peduli pada wajah lugunya serta air matanya yang masih mengalir dan isaknya yang sesaat-sesaat terdengar di antara usahanya menahan tangisnya-yang mungkin-karena takut padamu.
"Beraninya kau membentak purtiku!" Sang Ibu bertambah kesal, ia balas membentakmu.
"Nyonya, Ibu macam apa yang mengajari anaknya cerita bualan? Cinderella, sepatu kaca, Pangeran?" Kamu menatap sang Ibu sejenak dengan tatapan tajam layaknya seorang Ratu yang berkuasa, lalu pandanganmu beralih kembali pada si gadis kecil. "Dengar, Nak. Ini dunia nyata, hadapilah. Tidak ada dongeng seperti yang kau harapkan di sini. Jangan berharap akan ada Pangeran yang menyelamatkanmu dari masalahmu atau apa pun itu. Kau akan hidup di dunia keras yang tidak punya belas kasihan, jadi jangan menangis dan merengek. Itu memuakan!" Kamu menyudahi kalimatmu yang sukses menjadikan kedua pendengarmu terdiam beku.
Kamu lalu berbalik duduk pada posisimu semula, dengan nyaman membuka kembali majalah yang semula kamu baca seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kamu tidak peduli pada si gadis kecil dan ibunya yang tampak sangat terkejut akan sikapmu.
"Dongeng, pembelajaran yang salah untuk anak zaman sekarang!" Suara kamu bergumam masih dapat saya dengar, spontan menggelitik saya dan membuat tawa saya pecah seketika.
Sungguh, saya bukan bermaksud menertawakanmu. Tapi saya tidak bisa tidak tertawa.
Kamu menatap ke arah saya dengan mata indahmu, dengan tatapan tidak suka. "Apa kau bisa berhenti tertawa? Bau mulutmu yang teramat wangi membuatku ingin mabuk." Sudah pasti kamu berbicara kepada saya.
Saya berhenti tertawa seketika. Benarkah yang kamu katakan?
"Dan, parfummu itu, gantilah! Wanginya seperti bau kakek-kakek! Juga gaya rambutmu yang seperti tidak disisir, pergilah ke penata rambut ternama! Dan dasimu itu," kamu menunjuk ke arah saya. "Warna kuning tidak bagus karena akan menakuti penderita Xanthophobia[2], mereka mungkin akan gila melihatmu! Ganti!" Kamu berkata seolah kamu seorang Nyonya Besar. "Dan berhentilah menatapku dengan pandangan pria murahanmu itu!" tambahmu ketus. Kemudian dengan sikap tak pedulimu, kamu kembali pada majalahmu, berkonsentrasi di sana dan meninggalkan saya yang terdiam kaku.
Begitu buruknya kah penampilan saya? Padahal saya pikir ini biasa saja. Apa kamu tidak tahu, penampilan saya ini telah berhasil menarik banyak sekali wanita ke pelukan saya? Tampaknya kamu tidak akan peduli, kamu tidak mau tahu tentu saja.
Entah kenapa senyum saya tiba-tiba tersungging, padahal bukankah seharusnya saya merasa kesal(?). Tiba-tiba gairah saya seperti dipacu untuk bisa menarikmu ke dalam pelukan saya. Karena saya merasa kamu sangatlah menarik.

***

{2}

Jika saja dia bukanlah investor penting bagi perusahaanku maka aku tidak akan pernah melakukan hal ini sekarang. Menunggunya di stasiun Asakusa dengan mengenakan yukata[3]. Apa dia sungguh-sungguh mau mengajakku membicarakan bisnis di festival hanabi[4]? Yang benar saja?
Kulirik jam tanganku. Jam menunjukan pukul 06.15 pm. Dia sudah membuatku menunggu lima belas menit. Aku benci menunggu.
Dia yang membuat janji tidak masuk akal ini dua hari lalu melalui sekretarisku, dan karena begitu pentingnya bertemu dia maka aku segera terbang dari Jakarta ke tempat ini, Tokyo. Namun tiba-tiba saja aku merasa sedang dipermainkan.
Meski aku belum pernah bertemu dengannya sama sekali, namun reputasinya sebagai seorang CEO muda yang pandai memanfaatkan ketampanan dan kekayaannya untuk menakhlukan wanita, serta kegemarannya berpesta dan berkeliling dunia telah kuketahui. Dan aku tahu hal baru sekarang, bahwa tampaknya ia juga punya kegemaran menguji kesabaran rekan-rekan bisnisnya.
"Nona Cinderella(?)."
Aku terkaget karena sapaan seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri dengan penuh percaya diri di hadapanku. Kutatap pria itu sejenak, mencoba mengenali wajah yang tidak begitu asing dalam ingatanku. Dan kusadari ia memang pernah kutemui sebelumnya. "Oh. Tuan Xanthophobia!" ujarku spontan.
Ia tersenyum menanggapiku. "Tak kusangka kamu benar-benar mengenakan yukata seperti permintaanku."
Air mukaku pasti berubah saat ini ketika kusadari dialah yang kutunggu. Sial! Aku ingin sekali memarahinya karena keterlambatannya. Tapi aku harus menjaga imej. Dan aku pun tersenyum. "Tuan Diaz―"
"Diaz," dia memotong kalimatku. "Tanpa 'Tuan', hanya Diaz. Oke?"
Aku mengembuskan napas tanpa membuat lawan bicaraku tahu. Playboy ini sudah mulai dengan aksinya. Aku mengangguk dan tetap terlihat tenang. "Diaz."
"Ya. Nara."
Baiklah. Dia boleh memanggilku dengan nama itu karena itu memang bagian dari namaku, Narani Cleopatra, meski biasanya yang kuizinkan memanggilku seperti itu hanyalah orang-orang terdekatku. "Jadi, kita bisa mencari tempat untuk membicarakan tentang proyek baru perusahaan kami."
"Tentu. Aku tahu tempat yang bagus."
"Baiklah." Aku menurutinya.
"Mengenai kritik kamu yang di pesawat itu..."
"A, apa?" Ternyata dia mengingatnya. Mungkinkah dia tersinggung pada perkataanku waktu itu?
"Kamu pikir, apa itu tidak berlebihan?"
"Saya berkata yang sebenarnya." Jangan berharap aku akan meminta maaf untuk itu, karena aku berkata jujur. "Saya yakin Anda bukan orang yang tidak bisa menerima kritik," ujarku dengan suara lembut yang menusuk.
Diaz tersenyum dan mengangguk. "Kamu tahu, aku pikir itu masukan yang berguna."
Benarkah?
"Mulai sekarang aku akan sering meminta pendapat kamu tentang penampilanku. Oke?"
Apa? Apa dia bercanda?
"Jadi, bersiap-siaplah aku repotkan, Nona Cinderella."
Aku mengembuskan napas lagi. Pria ini benar-benar ... menyebalkan! "Oh. Itu bukan masalah besar," jawabku dengan senyum menawan. Sial!
Diaz melangkah dengan riang di sampingku. Entah apa yang sedang dipikirkannya di dalam kepalanya itu. Aku bertanya-tanya.
Dan aku pun tahu jawabannya kemudian ketika kami sampai di Sumidagawa di mana Hanabi akan berlangsung hari ini. Aku tahu, dia tak bermaksud membicarakan bisnis tetapi hanya ingin main dan bersenang-senang di sini. Baiklah, aku juga bukannya seseorang yang tidak tahu cara bersenang-senang―meski aku tidak suka membuang-buang waktu untuk main seperti hari ini.
Jalanan sangat padat ketika kami mencari tempat yang nyaman untuk menonton kembang api. Lebih dari satu juta orang tampaknya memadati daerah Asakusa, banyak di antara mereka menggelar tikar dan duduk dengan nyaman di sepanjang jalan, dan tak sedikit juga yang mengalami nasib sepertiku―harus berdiri dari awal hingga akhir acara.
Selama festival berlangsung, aku dan Diaz melewati waktu seperti yang lainnya yang juga datang ke festival musim panas ini, menikmati indahnya kembang api dengan kekaguman dan pembicaraan ringan―seolah kami telah lupa tujuan kami bertemu semula.
Dan, meski pun aku harus melihat kembang api yang indah itu dengan berdiri dari pukul tujuh hingga pukul setengah Sembilan malam―sampai kakiku menjadi sangat pegal―tapi tidak menjadi masalah karena aku tidak pegal sendirian. Tidak mungkin anak orang kaya di sampingku itu tidak mengalami hal sama. Mana mungkin anak orang kaya seperti dia terbiasa berdiri begitu lama seperti hari ini. Jadi kuabaikan rasa pegal di kakiku. Lagi pula kembang api yang indah di langit Asakusa lebih dari cukup untuk membayar lelahnya aku berdiri.
Setelah selesai menyaksikan festival kembang api, Diaz memintaku menemaninya ke Asakusa Kannon Temple, kuil yang sangat terkenal di Asakusa. Dan akhirnya aku bisa mengisi perut yang sudah keroncongan dengan yakisoba[5] pinggir jalan.
"Festival kembang api hari ini adalah festival kembang api yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku." Diaz berkata ketika kami berjalan menikmati suasana pasar malam di sepanjang jalan menuju kuil Asakusa-setelah selesai makan yakisoba.
"Oh, ya?" Aku tidak menyangka anak orang kaya ini tidak jatuh pingsan karena kelelahan. Mungkin aku yang terlalu banyak nonton televisi hingga berpikir bahwa anak orang kaya tidak biasa menghadapi rasa capek seperti yang kurasakan sekarang.
"Ya." Diaz mengangguk. "Mana mungkin aku menyia-nyiakan kenanganku dengan melupakan hari ini, di mana ada seorang gadis cantik beryukata yang sudah menemaniku?" Ia memamerkan senyumannya yang menggoda.
Seharusnya aku ingat pria seperti apa dia. Jadi aku tak harus merasa tersanjung atau tersipu jauh di dalam hatiku seperti sekarang. "Kamu kelihatan sangat senang seolah semua ini hal baru untuk kamu," aku berkata dengan sikap jujur yang tak bisa aku tahan. "Aku kira ditemani gadis cantik itu sudah bukan hal baru untuk orang seperti kamu."
Diaz tertawa ringan. "Ditemani oleh gadis seperti kamu adalah hal baru. Karena di antara semua gadis yang pernah menemaniku, kamu yang tercantik."
Ya, ampun! Seharusnya aku tidak membiarkannya berkata begitu, dan tidak membiarkan diriku selalu tersenyum untuknya setiap mendengar pujiannya.
"Nara? Kamu di sini?"
Itu bukan suara si perayu. Itu suara pria lain yang kukenal. Langkahku terhenti secara otomatis ketika kulihat dia berjalan menghampiriku. Kenapa aku harus bertemu pria itu di sini? Hari apa sih ini? Kenapa jadi begitu menyebalkan?!
Pria itu, Evan, mantan kekasihku yang berengsek. Pria cinta pertamaku yang membuatku tak ingin membahas masalah cinta hingga detik ini.
Evan menyunggingkan senyumannya yang biasa, ramah dan bersahabat, seolah di antara kami tidak pernah terjadi gejolak yang membuat kami pernah berpisah dengan cara yang menyedihkan. "Hai, Nara! Aku pikir tidak akan bisa ketemu kamu lagi. Kamu terlalu sibuk, sih," ujarnya dengan nada suara teramat akrab. Kemudian tatapannya beralih ke arah Diaz. "Boleh kupinjam Nara sebentar? Karena kudengar dia belum punya pacar karena tidak bisa melupakan cinta pertamanya, jadi kamu pasti bukan pacarnya kan?"
Apa maksudnya bertanya begitu, sih?
Diaz menoleh ke arahku. "Kamu mau pergi dengannya?" tanyanya.
"Tidak," jawabku sedikit kaku.
"Nara, ayolah. Lupakan masalah kita di masa lalu." Evan berkata. "Bukankah perusahaanmu sedang memerlukan seorang investor? Aku bisa membantumu. Tanpa kamu harus bersusah payah memohon padaku."
Apa dia ingin aku menghajarnya di depan banyak orang? Tak tahukah dia betapa aku benci padanya?
"Kita bicara sebentar." Evan meraih tanganku dan bermaksud mengajakku pergi bersamanya. Tapi aku tak bergerak sedikit pun dari tempatku.
"Aku bilang tidak."
"Jangan memaksa pacar orang pergi bersama kamu dengan seenaknya begitu, dong." Diaz tiba-tiba nimbrung dalam pembicaraanku dan Evan. Diaz menarik tanganku hingga lepas dari genggaman Evan. "Carilah pacarmu sendiri."
"Apa?" Wajah Evan berubah seketika mendengar ucapan Diaz.
Aku senang melihat wajah kaget Evan yang putus asa itu. Tapi aku juga kurang senang dengan sikap Diaz yang seenaknya, aku bisa membela diriku sendiri tanpa perlu bantuannya.
"Jangan khawatir dengan perusahaannya, dia sudah dapat investor. Pacarku tidak perlu memohon, apa lagi bicara pada kamu saat ini. Oke?" Diaz berkata dengan senyumnya yang santai itu. "Jangan mengganggu kencan orang, dong." Dan dengan santainya, Diaz menggenggam tanganku mesra, dan membawaku pergi dari hadapan Evan.
Oh, Tuhan! Bisa kubayangkan seperti apa perasaan Evan saat ini. Pria yang selalu tidak mau kalah dan merasa tidak pernah kalah itu kini pasti terpukul sekali. Aku ingin sekali memeluk Diaz dan berterima kasih padanya, tapi sisi diriku yang lain yang lebih egois menepisnya dengan sikap angkuhku yang tak pernah mau menerima bantuan dengan cara yang tak kusuka.
Aku sebenarnya tak ingin tersenyum karena aku sadar bahwa pria playboy ini sedang berusaha menarikku ke arahnya dengan caranya yang―kuakui―nyaris saja berhasil membuat hatiku tergugah. Namun aku tak bisa menahan senyumku, aku tersenyum juga. "Terima kasih," ucapku akhirnya.
"No problem."
"Kamu bisa melepaskan tanganku sekarang sebelum semua orang benar-benar menganggap kita sedang pacaran," ujarku dingin.
Diaz menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. "Kalau begitu, kita pacaran saja."
Apa? "Kamu bercanda, ya?"
"Aku serius." Diaz menarik tanganku hingga langkahku terpaksa mendekat ke arahnya. "Aku adalah Pangeran sungguhan, kamu bisa mengandalkanku."
"Aku bukan Cinderella yang memerlukan seorang Pangeran. Aku bukan gadis yang sama seperti gadis lain yang sering kamu ajak bermain-main."
"Jadi, kamu takut kupermainkan?"
"A, apa?"
Dia menyentuhkan jemarinya ke pipiku. "Kupikir kamu tidak punya rasa takut."
"Tentu tidak!" Ia sukses membuatku tergugup.
"Dan tidak takut menjadi pacarku?"
"Tidak!" Apa? Apa yang kukatakan?! "Ap, ap, apa?" Aku terpengaruh oleh hipnotisnya atau apa?
"Kalau begitu kita resmi pacaran!" Diaz tersenyum riang.
"Tunggu! Tunggu dulu! Aku―"
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, menghilangkan kegugupanku dan mengembalikan akal sehatku ke tempat semula, tiba-tiba Diaz sudah mendekatkan wajahnya hingga sangat dekat di hadapan wajahku. Dan tiba-tiba tubuhnya semakin condong dan akhirnya ia pun ambruk menabrakku.
Aku yang tak sanggup menahan berat tubuhnya pun terjatuh. "Hey, Diaz! Apa-apaan―"
Ia tak bergerak di atas tubuhku. Benar-benar tak bergerak seperti mati.
"Di, Diaz? Kamu baik-baik saja?" Apa ini? Kenapa dia? Dia pingsan?!

***

{3}

Sangat memalukan! Saya tidak pernah jatuh pingsan di hadapan seorang gadis sebelumnya, selelah apa pun itu. Saya tampak santai, namun kejadian hari itu masih saja mengganggu. Saya merasa seperti pria bodoh yang pingsan setelah menjebak seorang gadis untuk menjadi pacar saya.
Jika saja saya mengikuti nasehat Dokter dan beristirahat, hal itu tak akan terjadi. Tapi saya teramat benci tampak seperti orang sakit. Tak akan saya biarkan siapa pun melihat dengan pandangan kasihan pada saya. Apa lagi orang itu adalah kamu.
Saya sedang menatap ke arah gerimis yang turun di luar cafe ketika kita berbicara melalui telepon. Ketika saya sedang menunggu kamu yang tak kunjung datang. "Nara, apa gerimis itu begitu hebatnya sampai bisa membuat kamu tidak ingin keluar dari kamar hotelmu?"
"Aku benci hujan."
Suaramu yang kesal justru terdengar manja di telinga saya. "Jadi, aku harus menunggu kamu sampai hujan itu berhenti?"
"Oh? Ti, tidak. Jangan menunggu," kamu berkata dengan nada kurang nyaman. "Apa kamu akan menunggu?" tanyamu kemudian.
Saya tertawa geli mendengar rasa penasaranmu. "Tentu saja tidak."
Bisa saya bayangkan rona kesal di wajahmu, dan mungkin rona kecewa juga. Tapi apa kamu akan kecewa mendengar ucapan saya barusan?
"Sebaiknya begitu," kamu berkata dengan gaya bicaramu yang menunjukan betapa kuatnya dirimu seperti biasa. Seperti biasa? Seolah saya telah mengenalmu bertahun-tahun saja, padahal baru satu minggu kita menjadi dekat.
"Nara. Aku akan membuat kamu menyukai hujan," ujar saya.
"Apa?"
"Hey, Nona Cinderella. Kamu mau tahu, sebanyak apa cintaku padamu?"
"Sebanyak apa, Tuan Penggoda?"
"Jika kamu bisa menghitung seluruh rintik hujan yang jatuh ke bumi, maka kamu akan tahu sebanyak apa cintaku padamu."
"Bagaimana aku harus menghitungnya?" tanyamu.
"Kamu sedang menghitungnya sekarang?"
"Tentu saja tidak!"
Saya tertawa geli. Tentu kamu sedang menghitungnya. Sudah saya bilang, saya akan membuat kamu menyukai hujan. "Oh, iya. Kalau begitu pertemuan malam ini kita ganti besok pagi saja."
"Besok pagi?"
"Ya. Pukul delapan pagi. Di Hachiko," ujar saya menentukan. "Dan jangan biarkan aku menunggumu hingga aku mati dan jadi patung seperti Hachiko, Nara."
Terdengar tawamu yang saya suka. "Baiklah. Besok aku berjanji akan datang dan tidak akan membiarkan kamu menunggu sedetik pun."
Saya pikir, janji itu dikarenakan rasa bersalahmu karena tidak datang malam ini. "Baiklah, Nara. Pegang janjimu."
"Tentu."
Mendengar suaramu dan melihat keangkuhanmu, entah mengapa membuat saya merasa sangat bersemangat. Kamu sangat menyenangkan lebih dari kebanyakan gadis yang pernah saya kenal.

***

{4}

Jika kamu bisa menghitung seluruh rintik hujan yang jatuh ke bumi, maka kamu akan tahu sebanyak apa cintaku padamu.
Terngiang.
Sembari menatap langit yang berwarna kelabu, untuk kesekian kalinya aku melatih kemampuan matematikaku. Tak kuhiraukan aneka tatapan raut muka yang melintas di hadapanku yang seperti menyiratkan tanya sembari memamerkan payung aneka warna yang mereka bawa.
Mematung aku seperti batu. Seperti dia yang juga sedang menunggu.
Apa aku harus menunggu terus seperti dia? Atau aku beranjak saja? Aku sudah menunggu terlalu lama. Tapi dibandingkan dia, aku seharusnya malu jika kukatakan bahwa ini disebut lama. Tapi aku bukan dia. Aku ini manusia. Dan dia ... yang teramat setia itu, adalah seekor anjing yang kini hanya patung perunggu. Hachiko.
Meski aku bukan dia, meski kami tidak sama. Tapi aku masih saja menunggu seperti dia, sembari menatap gerimis yang berjatuhan dari langit. Menghitungnya. Menghitungnya. Tidak ada habisnya.
Aku benci hujan, begitulah selama ini. Tapi hari ini aku berdiri di dalam hujan ditemani payung oranye yang mengembang, melindungiku dari basahnya hujan yang kubenci. Apa yang sudah terjadi padaku? Aku benci mencari jawabannya.
Kupalingkan kepala ke arah Hachiko yang juga sedang menunggu di sampingku. "Hey, Hachi. Sampai kapan kau akan menunggu? Berdirilah! Lari! Pergi saja!"
Tidak ada jawaban. Ia tetap membatu.
Aku tersenyum. Sepertinya aku mulai gila, setelah menghitung rintik hujan aku bicara pada patung! Kuembuskan napas, bosan. Jika saja perasaan ini tak kumulai, maka tak akan begini mengikatku. Aku benci saat perasaan ini mengikatku semakin erat dan membuatku berakhir di sini. Menunggu dia yang telah berhasil menggerakkan hatiku. Aku benci rasa ini, ketika benciku tak sanggup mengembalikan hilangnya akal sehatku karena memikirkan seseorang yang bisa merusak logikaku. Cinta memang virus perusak logika yang mematikan.
Ah, sudah lebih dari satu jam aku menunggu. Apa dia sedang membalasku karena membuatnya menunggu dan tidak datang memenuhi janji makan malam semalam? Tapi setidaknya semalam aku menelpon dan membiarkan dia tahu bahwa aku tidak bisa datang karena aku tidak ingin berada di luar rumah ketika hujan. Aku sungguh benci hujan.
Dan, dia justru tidak memberi kabar apa-apa hingga sekarang. Dia tidak menghubungiku, dia juga tidak bisa dihubungi. Ponselnya selalu berakhir di kotak pesan. Dan entah sudah berapa banyak pesan suara yang kukirim padanya sejak satu jam lalu. Di mana dia? Dia mau aku menunggu sampai kapan?

***

{5}

Ketika saya datang, jam tangan saya menunjukkan pukul 05.30 sore. Kamu masih menunggu. Saya bisa melihatmu dari tempat saya berada sekarang, di dalam mobil yang nyaman. Kemungkinan kamu sudah menunggu di sana seharian. Dan dalam hujan yang katanya kamu benci.
Kenapa kamu melakukan itu? Apa karena rasa bersalahmu yang tidak memenuhi janji kita malam itu? Apa karena kamu mulai mencintai saya? Kamu mencintai saya?
Jika kamu mulai serius mencintai saya, hubungan ini jadi tidak menyenangkan lagi. Saya memilih kamu karena saya pikir kamu tidak akan seserius ini. Bukannya saya tidak suka dicintai, saya hanya tidak ingin terjebak dalam akhir menyedihkan. Kamu tahu cinta, hanya akan menciptakan akhir kehilangan yang menyedihkan.
Saya merogoh saku jaket dan mengambil ponsel, segera menghubungi kamu. Saya bisa melihat kemarahanmu di sana ketika kamu menjawab telepon dari saya.
"Jadi, kamu sedang membalasku atau apa?" Suara kamu segera mencecar telinga saya.
"Kenapa marah begitu? Apa karena kamu harus menunggu? Hey, kamu tidak menunggu sampai sekarang kan?" Saya memaksakan diri untuk tertawa dan terdengar santai seperti biasa. "Tentu saja tidak kan?"
"Kamu di mana? Kenapa tidak datang? Kamu tahu, aku menunggu seharian?" tanyamu memberondong. "Sempat terpikir kalau kamu jatuh pingsan seperti kemarin saat festival. Apa kamu jatuh pingsan lagi? Apa kamu sedang sakit?"
"Hey, Nona Cinderella, aku tidak pingsan." Saya memang tidak pingsan, saya hanya mengalami mimisan hebat, dan karenanya saya lebih memilih untuk bertemu dokter saya daripada bertemu kamu. "Apa aku terlihat seperti orang sakit untukmu, Nara?"
"Bukan. Bukan begitu."
Saya tertawa. "Tenanglah, Nara. Aku baik-baik saja. Aku tidak bisa datang karena tiba-tiba harus bertemu seorang gadis cantik yang tak bisa kutolak, dan dia selalu berhasil memaksaku untuk tinggal lebih lama di tempatnya." Meski telah berumur, dokter saya adalah seorang wanita yang cantik, sungguh.
"Kamu masih bisa bercanda?"
"Apa aku terdengar sedang bercanda?" saya bertanya santai, sesantai mungkin. "Nara, terima kasih sudah menemaniku beberapa hari ini. Dan jangan khawatir tentang perusahaanmu, aku tetap akan menjadi investor meski kita tidak berhubungan lagi."
"Apa maksudmu?" Suara kamu terdengar bingung.
"Tunggu dulu. Apa kamu mulai menganggap serius hubungan kita? Kamu tidak menganggap serius hubungan kita kan? Hey, apa kamu sungguhan jatuh cinta padaku, Nara?"
Kamu tidak menjawab.
"Nara, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu. Aku hanya―"
"Jangan khawatir." Kamu memotong kalimatku dengan suara muram yang teramat dingin. "Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu tidak bertanggung jawab pada perasaanku, aku yang bertanggung jawab pada perasaanku sendiri. Tidak perlu khawatir, karena aku akan melupakan kamu lebih cepat daripada saat aku jatuh cinta padamu."
Saya meneguk ludah. "Nara―"
Telepon dimatikan.
Maafkan saya, Nara.

***

{6}

"DASAR BERENGSEK!" Spontan aku berteriak sekerasnya demi melenyapkan sesuatu yang mengganjal berat menyesakkan di dalam dadaku, sepertinya aku akan mati karena sesaknya.
Hujan seperti mengejekku. Betapa bodohnya aku terjerat oleh perasaan bernama cinta kepada pria yang bahkan hanya melihatku sebagai mainan yang menyenangkan. Sesaat aku lupa bahwa aku tidak memerlukan seorang Pangeran untuk menjaga hatiku, bahwa aku sanggup menjaga seluruh kehidupanku sendiri. Aku memang bodoh!
Saat ini logikaku mungkin sudah kembali. Kuhela napas mengusir sesak, lalu menegakkan badanku dan melangkahkan kakiku dengan langkah pasti, meninggalkan Hachiko di belakangku yang masih terus menunggu. Aku tak sama seperti patung itu, aku benci menunggu orang yang tak kunjung datang! Aku benci menjadi bodoh dan kehilangan logika.
"Aku benci hujan!" gumamku dengan suara bergetar saat air mataku jatuh begitu saja di pipiku. "Aku sangat benci hujan!" Sialan! Tangisku tak dapat kutahan.

***

{7}

Pandangan saya masih mengawasimu. Saya bisa melihat punggungmu menjauh dengan lenggok langkahmu yang tegas dan pasti.
Saya terus menatap ke arah punggungmu hingga kamu benar-benar menghilang di antara para pejalan kaki yang berjejal di jalanan itu.
Lalu, ada sesak yang menghantam di dalam dada saya secara tiba-tiba ciptakan lubang kosong yang hampa ketika kamu menghilang dari pandangan saya. Saya tersenyum pahit.
Nara, kamu memang seharusnya pergi. Kamu pantas mendapatkan seorang pria yang jauh lebih baik daripada pria yang hanya ingin bersenang-senang sebelum nyawanya berakhir karena kanker otak stadium akhir.[]

[1] Ibu (Jepang)
[2] Fobia atau ketakutan pada warna kuning atau kata 'kuning'.
[3] Kimono musim panas Jepang. Sejenis kimono namun lebih tipis, bercorak cantik, simple, dan berbahan dari kapas.
[4] Festival kembang api saat musim panas di Jepang.
[5] Mie goreng

No comments:

Post a Comment