Capek!
Akhirnya aku bisa sedikit bersantai setelah melewati beberapa rapat bisnis yang membosankan. Sebenarnya aku ingin sekali fokus saja pada hobiku: menulis. Dengan begitu aku tak akan bosan melakukan pekerjaanku, karena aku menyukainya.
Tapi, terkadang hobi tidak cukup untuk menghidupi dirimu. Kau tahu, untuk bertahan hidup kita harus mengambil jalan yang mungkin kurang kita sukai–kadang-kadang. Yah, beginilah aku bertahan hidup—melakukan pekerjaan yang monoton di sebuah perusahaan, bertarung dengan kebosanan serta beberapa orang licik yang bisa saja tiba-tiba muncul tanpa terduga dan mendorong timku hingga jatuh.
Jatuh.
Sebenarnya aku sudah tak mengenal kata itu lagi karena sudah terlalu sering terjatuh.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim panas Shibuya di malam hari, lalu aku hembuskan napas kuat-kuat. Ahhhh, lega sekali rasanya. Sembari berjalan-jalan di sepanjang jalan Spain-Zaka aku mengunyah roti isi yang kutemukan di dalam tasku.
“Nyaaw.”
Suara seekor kucing mengagetkanku. Di hadapanku tampak seekor kucing gemuk dengan bulu hitam di seluruh tubuhnya.
Wah! Lucunya!!
“Hey, Kuro! Kau mau?” Aku berjongkok seraya menawarkan sepotong roti isi kepada kucing yang kupanggil dengan nada sok akrab itu. Hehee. Nggak apa-apa, dong.
Kuro, atau entah siapapun nama aslinya, berjalan mendekat ke arahku. Dia menerima dengan sopan makanan pemberianku. Kelihatannya dia bukan kucing pemilih, soalnya dia mau makan roti isi keju. Aku mengelus-elus punggung Kuro.
“Kuenya enak, ya? Aku beli di toko dekat stasiun Shibuya, lho.”
Hobi curhatku keluar, deh. Eh, tapi, tahukah kalau curhat kepada kucing itu lebih aman dibandingkan dengan curhat kepada manusia? Eng… sudahlah, lupakan saja.
“Nyaaw.”
Suara kucing yang lain muncul dari arah belakangku. Kemudian beberapa ekor kucing lagi tiba-tiba berdatangan mengelilingiku. Ada yang berwarna kuning-putih, kuning-hitam, abu-abu, putih-kuning-hitam. Entah dari mana mereka datang.
“Wahhh, rotinya sudah mau habis.”
Aku menatap kucing-kucing yang baru datang itu, lalu menatap roti di tanganku. Aku tersenyum.
“Semuanya kebagian, tapi sedikit-sedikit, ya.” Aku membagikan potongan-potongan kecil roti kepada kucing-kucing yang mengelilingiku hingga roti di tanganku habis.
“Sudah!” Aku bangkit berdiri. Beberapa kucing mengeong lagi kepadaku. Kelihatannya mereka masih lapar. “Tunggu, aku beli roti lagi. Tunggu, ya!” Aku melangkah menuju deretan pertokoan di wilayah Spain-Zaka, melongokkan kepala ke arah toko-toko itu, mencari toko yang mungkin menjual kue yang disukai para kucing.
Aku terhenti saat kakiku tiba-tiba menendang sesuatu. Di atas jalanan di hadapanku tampak sebuah benda yang lucu, mengundangku untuk mengambilnya. Sebuah bando besi vintage berwarna hitam dihiasi ukiran-ukiran indah, serta terdapat dua batu hitam yang menyerupai mata kucing di antara dua telinga yang mencuat seperti telinga kucing di bagian atas bando tersebut. Pasti pemiliknya sedang mencari bando cantik itu sekarang. Aku menoleh ke arah beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitarku. Tak tampak ada yang mencari-cari sesuatu yang terjatuh di jalan.
Aku angkat bahu, lalu kukenakan bando itu di kepalaku. Kulongokkan pandangan ke arah kaca etalase sebuah toko di dekatku. Aku kelihatan lucu mengenakan bando itu.
“Grrrrrr…” Suara kucing yang kurang bersahabat terdengar. Begitu menoleh ke arah suara, aku melihat Kuro di kakiku. Sikapnya aneh, sangat berbeda. Kelihatannya dia sedang marah padaku.
Aku mundur beberapa langkah, agak takut melihat tingkah Kuro. Kenapa dengannya?
Tiba-tiba Kuro melompat ke arah kepalaku. Dia gila! Dia menyerangku!! Panik dan ketakutan, aku mundur seraya berusaha melepaskan cakar Kuro dari kepalaku. Aku berteriak-teriak minta tolong, seketika aku menjadi tontonan orang-orang.
“TOLONG AKU!!”
Kenapa mereka tak menolongku?
Kenapa tak ada seorang pun yang menolongku meski aku berteriak minta tolong berkali-kali? Kenapa tak ada seorang pun yang peduli pada teriakanku seolah aku tidak ada di sini?
Kakiku terpeleset. Aku terjatuh. Tubuhku menghantam jalanan. Napasku sesak. Punggungku nyeri. Dan kepalaku sakit sekali, berdenyut-denyut. Sakit.
Kakiku terpeleset. Aku terjatuh. Tubuhku menghantam jalanan. Napasku sesak. Punggungku nyeri. Dan kepalaku sakit sekali, berdenyut-denyut. Sakit.
Lalu… gelap.
***
Suara-suara yang ribut berjejalan memenuhi telingaku. Ada suara orang-orang yang mengobrol—entah membicarakan apa—dan suara langkah kaki yang berisik.
Aku berusaha membuka mata. Nyeri menusuk di dalam kepalaku. Aku memegang kepalaku seraya mencoba bangkit untuk duduk.
“Apa kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk. “Ya, kurasa…” Aku terdiam beku beberapa saat ketika melihat wajah di hadapanku.
Wajah seekor kucing berbulu hitam.
KURO!!
“AHHHH!!!!”
Aku berteriak panik seraya mundur menjauh. Kuro menyipitkan matanya menatapku tajam. Lalu dia menghela napas dan mengangguk-angguk. “Sepertinya kau baik-baik saja.”
Apa? Apa ini? Kuro bicara denganku? Tidak! Bukan hanya bicara. Tapi tubuhnya juga tampak sangat besar, sama besarnya denganku! Kenapa? Apa yang terjadi????
Aku mematung, berpikir. Mengingat-ingat. Yaaaa! Aku tahu!!
Semalam aku berjalan-jalan di Spain-Zaka, bertemu kucing-kucing, membagi rotiku dengan mereka, lalu aku menemukan sebuah bando yang cantik, setelah itu tiba-tiba Kuro muncul dan menyerangku dengan kalap. Lalu aku jatuh mengahantam jalanan dan tak sadarkan diri. Penjelasan yang masuk akal jika sekarang aku sedang mimpi. Dikarenakan trauma diserang oleh Kuro, akhirnya Kuro masuk ke dalam mimpiku. Ya! Begitulah yang telah terjadi!
Aku pasti sedang bermimpi!
Aku mencubit pipiku sekuat-kuatnya supaya aku segera terbangun dari mimpi ini.
Hey! Mencubit? Atau mencakar?
Aku mengerutkan dahi dan menatap jemariku. Kurus, berbulu hitam dan memiliki kuku-kuku yang tajam pada jari-jari yang bulat-bulat. “A-a-apa ini?!”
“Kau berubah menjadi kucing.” Kuro berkata seraya menjilat-jilati jemarinya.
“Apa? Pfff … Ahahhahahahahahaa ....”
Aku tak bisa menahan tawa. Aku tertawa keras hingga berguling-guling di atas tanah. Di antara tawaku, aku mendengar suara nyaaw nyaaw nyaaw keluar dari mulutku.
Suara itu... apa itu suaraku??!
“Kenapa dia? Apa dia menjadi gila?” Seekor kucing berbulu kuning-putih muncul dan duduk di samping Kuro.
Diaaaaaaaa … bicaraaaaaaa?
“Mungkin dia stress. Katanya manusia suka stress.” Kucing berbulu abu-abu ikut nimbrung dan duduk di hadapanku.
“Tapi, dia bukan manusia lagi, ‘kan?” Kucing lainnya yang berwarna hitam-putih datang dan memiringkan kepalanya menatapku.
Aku berhenti tertawa, perutku sakit. Aku menatap sekeliling, beberapa ekor kucing mengelilingiku, mereka semua bisa bicara bahasa yang kumengerti. Dan di sekitar kami orang-orang berjalan berlalu-lalang tanpa memperdulikan sekelompok kucing yang sedang berdiskusi.
“Aku tahu, aku pasti sedang mimpi,” ujarku.
“Sayangnya, tidak!” Kuro berkata seraya menegakkan badannya, berdiri dengan empat kakinya.
“Apa maksudmu?” Aku masih yakin kalau aku sedang bermimpi.
“Kau tidak sedang bermimpi, nona. Ini kenyataan. Kemungkinan akan ada kabar kehilangan orang nanti, dengan fotomu di salah satu halaman sebuah surat kabar. Maksudku fotomu dalam wujud manusia-mu tentu saja.” Kuro tetap meyakinkan bahwa aku tidak sedang bermimpi. “Sebaiknya kau membiasakan diri mulai dari sekarang.”
Aku berdiri, berusaha berdiri dengan dua kaki, namun keseimbanganku hilang dan akhirnya aku bertumpu pada tanganku—atau kurasa tepatnya kaki depanku. Oh, baiklah. Aku kucing, katanya. Jadi aku harus menggunakan kaki dan tangan—maksudku kaki depanku—untuk berjalan.
“Saranku, hati-hatilah. Bisa saja kau adalah sasaran berikutnya.” Kuro berkata dengan sikap cuek, lalu melenggok pergi.
Kucing-kucing yang lain ikut bubar. Mereka meributkan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Kuro, sahut-menyahut mereka membicarakan sesuatu yang entah apa.
“Tu, tunggu!! Kuro!!”
Kuro berhenti, kucing-kucing yang lain ikut berhenti.
“Kuro … aku mau ta—”
“Jangan panggil aku Kuro!! Aku punya nama!!” Kuro berbalik dan membentak marah. Kucing-kucing di sekitar kami terkekeh.
Glekh. Bentakan Kuro terdengar menakutkan. Dia membuatku meneguk ludah. Aku harus bicara baik-baik dengannya. “Ba, baiklah. Jadi, siapa namamu?”
“Musashi.”
“Oke, Musashi. Kalau aku tidak sedang mimpi, lalu kenapa aku bisa menjadi kucing?”
Kuro atau Musashi—aku lebih suka memanggilnya Kuro—melirik dengan pandangan menakuti, matanya ditajam-tajamkan. “Itu salahmu sendiri. Siapa suruh mengambil dan memakai barang milik orang lain seenaknya?!”
“Mengambil dan memakai … apa?” Aku tak mengerti maksudnya.
“Mahkota Dewi Bast.”
Aku mengerutkan dahi. Pengetahuanku sebagai penulis cukup luas untuk tahu siapa yang dimaksudkan Kuro. “Dewi Kucing dari Mesir? Bando itu? Kau bercanda? Kenapa mahkotanya bisa tergeletak di jalanan? Nggak masuk akal!”
“Karena mahkota itu akan mendatangi manusia-manusia yang berbau kucing. Seperti kau.” Kuro menunjukku dengan tangan kucingnya.
Glekh.
Aku meneguk ludah. Sikap Kuro membuatku merinding (kau pasti mengerti jika kau pernah ditunjuk oleh seekor kucing, sepertiku). “Oke. Baiklah.” Aku pikir ini sudah terdengar serius sekarang. “Kur … uh, Musashi, jadi … apa aku bisa kembali menjadi manusia lagi?”
Kuro duduk di hadapanku, tak berkedip. “Sepertinya … bisa.”
Horeeeee!!!
Aku melompat girang.
“Caranya?”
Begitu kalimat tanyaku selesai, kucing-kucing yang berada di sekitar kami tiba-tiba menjauh pergi.
“Eng … ini hanya perasaanku saja ataukah memang kucing-kucing itu sedang ketakutan pada sesuatu yang kutanyakan?”
“Mereka takut.” Kuro menjawab dengan serius.
“Takut apa?”
“Sacmis. Sang Pendeta.”
Glekh! Kenapa kedengarannya begitu mengerikan?
“Sang Pendeta?”
“Ya. Beredar gosip di kalangan para kucing. Mereka mengatakan bahwa Sacmis adalah Pendeta dari zaman Mesir Kuno yang telah berumur ratusan tahun yang mempertahankan kemudaannya dengan meminum darah para kucing saat upacara keabadian.”
Glekh!
“Bo, bohong. Memangnya masih ada yang seperti itu di zaman modern seperti ini?”
Kuro menatap ke arahku. “Kau pikir, apa ada manusia yang tiba-tiba menjadi kucing di zaman modern seperti ini?”
Aku nyengir, di dalam hati aku merasa takut.
“Jangan bilang kalau Sacmis adalah jawaban dari pertanyaanku.”
“Tepat sekali!”
Uapaaaaaaa???? Ahh, jika reputasi Sacmis begitu buruk di kalangan para kucing, mana mungkin dia akan membantu menjadikan aku manusia kembali dengan cuma-cuma. “Di mana aku bisa menemui Sacmis? Mungkin aku bisa bernegosiasi dengannya(?).”
Aku memang sudah gila!
Aku seolah melihat sekilas senyuman melintas di wajah Kuro. Tapi, tentu saja tak ada senyuman di sana. Jadi kupikir itu hanya khayalanku.
“Sacmis tinggal di sebuah toko barang antik di wilayah Kanagawa.” Kuro berkata.
Aku berdiri tegak dengan empat kaki. Sudah kuputuskan, aku akan menjadi manusia kembali! Seburuk apa pun masalah di kehidupan manusiaku, aku tetap lebih suka menjadi manusia!
Aku menoleh ke arah Kuro dan berkata mantap, “Antar aku ke sana!”
***
Bayangan tubuh kucingku terpantul pada sebuah cermin antik yang terdapat di dalam sebuah toko bernama Ra Antic Shop, sebuah toko yang terletak di Isetan Sagamihara di wilayah pusat perbelanjaan Prefektur Kanagawa.
Mewah, unik, cantik, dan dipadati oleh aura antik yang membuat merinding. Begitulah penilaian singkatku tentang Ra Antic Shop. Tapi aneh sekali, sebab toko secantik ini kosong pengunjung. Bahkan sejak memasuki toko, aku tak melihat ada kasir atau penjaga toko. Keanehan itu membuat jantungku semakin berdebar-debar saat memasuki toko tersebut lebih dalam.
Di mana Sacmis?
“Mencariku?” Sebuah suara berat milik seorang wanita terdengar di belakangku. Suara itu nyaris membuatku melompat. Segera aku membalikkan tubuh.
Di hadapanku berdiri seorang wanita ramping bertubuh tinggi, dengan kulit kecoklatan, rambut gelap, dan mata tanpa alis yang memancarkan aura dingin—membuat nyaliku ciut.
“Ya. Aku mencarimu. Bisa kita bicara sebentar?”
Aku mencoba memberanikan diri. Entah ini keberanian atau kebodohanku. Baiklah, detik berikutnya aku segera tahu jawabannya.
Wanita—yang kuyakin pasti adalah Sacmis itu—mengangkat tubuhku ke udara. “Cantik sekali. Apa Musashi yang mengantarkanmu ke sini? Di mana kucing pintar itu?”
APA?!
Aku menggerak-gerakkan tubuhku, berusaha melepaskan diri dari wanita itu. “Hey! Tunggu! Aku ini manusia, bukan kucing! Kau mengerti bahasaku, ‘kan? Sacmis!!”
Aku berteriak-teriak, kuharap ia mengerti, aku pikir dia seharusnya mengerti sebab kata Kuro hanya dia yang dapat mengembalikan aku menjadi manusia lagi.
“Sacmis, dengarkan aku! Aku akan membayarmu dengan apapun asalkan kau mengembalikanku menjadi manusia lagi!”
Aku terus-menerus berteriak meski hanya suara kucing yang berhasil keluar dari mulut kucingku. “Nyaaw. Nyaaw. Nyaaw.” Suara kucingku apakah berguna?
Wanita itu tertawa.
“Ah, kau mengajukan penawaran yang sama seperti yang Musashi berikan,” ujarnya.
Dia... DIA MENGERTI KALIMATKU! Baguslah!
Eh, tunggu dulu! Penawaran yang sama dengan Musashi? Apakah... Musashi sesungguhnya adalah manusia juga? Ahhh, aku tak peduli! Sekarang yang paling penting adalah aku harus kembali menjadi manusia lagi!
“Ya! Ya! Aku akan lakukan apapun!” tegasku.
Ahhh, berpikir, berpikir, berpikir!
“Baiklah.”
“Apa?” Dia setuju? Semudah itu?
“Kau akan menjadi manusia lagi.” Wanita itu mendekatkan wajahku ke wajahnya. Matanya menatapku dalam-dalam. “Kau akan menjadi manusia kembali, nona.”
Suara wanita itu memenuhi kepalaku. Aku merasa gamang, kemudian wajah wanita itu perlahan-lahan semakin kabur seperti diselubungi kabut, dan segera di sekelilingku hanya ada kabut tebal.
Sebelum gelap menyelimutiku, samar terdengar suara perempuan itu. Katanya: “Kaulah yang dibutuhkan Yang Mulia....”
***
Sekalipun jika ini hanyalah mimpi, ini adalah kebodohanku yang teramat sangat. Aku pikir aku berani menantang Sacmis dan bernegosiasi, berharap dia sedikit bodoh untuk memberiku apa yang aku mau. Tapi ini bukanlah keberanian, ini kebodohan!
Aku sadari kebodohan itu saat aku telah berada di atas sebuah keranda batu dalam keadaan terikat. Aku tak tahu di mana aku saat ini. Begitu membuka mata aku segera disuguhi aroma wangi yang menusuk hidung serta suasana sebuah ruangan berdinding batu yang di tiap sudutnya terdapat obor bergagang keemasan. Dan yang paling membuatku ngeri adalah sebuah singgasana keemasan yang berukir indah beberapa meter di atas tangga di hadapanku, di sana duduk tak bergerak seorang wanita amat kurus dan berkulit keriput, dan tampak olehku lingkaran aura gelap mengelilingi kepalanya.
“Kau akan segera berubah menjadi manusia saat jantung dan darahmu telah kau berikan kepada Yang Mulia Sacmis.” Seraya sekilas menoleh ke arahku, wanita yang kukenal itu berjalan ke arah anak tangga di hadapanku. Ia membawa sebuah buku usang bersampul coklat dan sebuah mangkok emas di atas buku itu di tangan kanannya, serta sebuah Ankh tergenggam di tangan kirinya. Di belakangnya, seekor kucing hitam yang juga kukenal berjalan membawa sebilah belati di mulutnya.
Jika sekarang wujudku adalah manusia, aku pasti akan terlihat sangat pucat dan penuh rasa takut. Ankh itu penyebabnya. Aku tahu benda apa itu. Ankh merupakan salah satu simbol kekuatan terdahsyat dari dunia mistik hitam. Dalam ajaran Mesir kuno, Ankh bermakna sebagai keabadian hidup. Syarat utama untuk menggunakan simbol ini, orang-orang Mesir kuno diwajibkan mempersembahkan kesucian para gadis perawan dalam sebuah pesta ritual.
Mati.
Aku akan mati!
Kuro melompat ke sampingku dan meletakkan belati di atas kepalaku, sementara si wanita yang tadinya aku pikir adalah Sacmis berdiri menghadap ke arah wanita keriput di atas singgasana di puncak anak tangga. Ia lalu mengucapkan kalimat-kalimat seperti sebuah mantra untuk memulai ritual.
“Aku salah apa padamu?” Aku berkata pada Kuro, nyaris tak terdengar di telingaku sendiri.
“Sebelum kau masuk ke toko itu aku sudah mengatakan bahwa masalahmu bukanlah urusanku.” Kuro berkata tanpa menoleh ke arahku.
“Kau juga ingin menjadi manusia lagi?”
Kuro menoleh ke arahku. Itu adalah sebuah jawaban ‘ya’ bagiku.
“Aku akan membantu. Aku berjanji.”
“Berjanji?”
Aku mengangguk. “Tapi, tolong bebaskan aku.”
Kuro tampak berpikir sejenak, kemudian ia berkata, “Aku akan merebut buku di tangan Emuishéré, larilah secepatnya saat kami membuat kekacauan.” Kuro berbisik. Emuishéré yang ia maksud pasti wanita yang sedang membaca mantra-mantra itu.
“Buku? Untuk—”
“Menjadi manusia lagi,” jawab Kuro lirih, memotong kalimatku.
“Jadi, buku itu—”
“Hanya akan dikeluarkan di saat seperti sekarang.”
Apa? Kalimat Kuro membuatku berpikir bahwa ia sengaja menjadikan aku sebagai umpan!
Ketika aku sedang berpikir, Kuro mengambil belati yang tadi diletakkannya di atas kepalaku dengan menggunakan mulutnya. Diam-diam namun cepat, ia putuskan tali yang mengikat kaki-kakiku.
“Apa yang kau lakukan?!” Wanita yang sedang membaca mantera itu mengetahui perbuatan Kuro. Ia berbalik ke arah kami dan berteriak marah.
Dengan belati di mulutnya Kuro melompat ke arah wanita itu, gesit ia bergerak, menyerang wanita itu seperti kucing gila. Wanita itu melepaskan barang-barang di tangannya dan dengan segenap tenaga ia melempar Kuro ke tembok batu.
Aku bergerak tanpa berpikir lagi, secepatnya kuambil buku yang tadi Kuro katakan ingin diambil olehnya—kupikir pasti buku di tangan Emuishéré-lah yang ia inginkan, dan secepatnya aku lari menuju ke arah Kuro yang tergeletak di lantai.
“Kuro! Kuro! Bangun! Lihat! Aku sudah mengambil buku itu untukmu!”
Kuharap ia akan bangun dan teriak padaku mengatakan ‘NAMAKU BUKAN KURO!’, tapi dia tak bergerak sama sekali.
Aura gelap dan angin dingin berputar-putar di sekitar kami. Wanita yang dikatakan Kuro bernama Emuishéré berdiri memojokkan kami, sebilah belati tergenggam di tangannya. Ia angkat belati itu dan ia hujamkan ke arahku. Namun kemudian ia tiba-tiba berhenti ketika tiba-tiba saja beberapa ekor kucing muncul, menyerang wanita itu dari arah belakangnya. Kejadian tak terduga itu menyelamatkanku dan Kuro dari belati yang siap merobek kulit kami.
Lengkingan teriakan wanita itu bercampur dengan suara ramai meong kucing terdengar begitu mengerikan. Teman-teman kucing yang kutemui di Shibuya datang membantu!
“Cepat lari!” Seekor kucing yang berbulu kuning-putih melompat ke sampingku.
“Tolong bawa Kuro keluar juga!”
“Baiklah.” Segera kucing itu menggigit punggung leher Kuro dan membawa Kuro berlari pergi. Aku berlari mengikuti mereka sembari menyeret buku yang diinginkan Kuro dengan mulutku.
Sebuah obor melayang ke hadapan kami secara tiba-tiba, membuat langkah kami terhenti. Tampak Emuishéré telah berhasil menyingkirkan kucing-kucing dari dirinya. Ia melempar obor-obor ke arah para kucing sembari berteriak marah.
“Kalian semua akan mati untuk Yang Mulia Sacmis! Pengorbanan besar akan dilakukan hari ini!” Suaranya memenuhi ruangan, menggema marah memekakkan.
Angin dingin yang diselubungi aura gelap keluar dari mulut si wanita kurus yang duduk di singgasana emas itu. Angin itu berputar-putar, bermain-main dengan api obor-obor yang tergelak di lantai, seolah si wanita keriput di singgasana itu sedang mengeluarkan jiwanya yang gelap dan menari-nari dengan api. Dengan cepat api menjalari lantai dan memenuhi seluruh ruangan.
Dalam sekejap kami dikelilingi api. Seluruh ruangan hanya ada api dan asap!
Aku tak bisa berpikir. Aku hanya bisa bergerak maju, lari dan lari mengikuti si kucing dan telah berlari lebih dulu bersama Kuro yang ia bawa dengan gigitan mulutnya. Pilihannya saat ini adalah takut melewati api dan tetap di tempat lalu mati terbakar atau mati tertangkap Emuishéré, atau lari menerobos api dengan resiko mati terbakar atau justru akan menemukan jalan keluar—siapa yang tahu?
Tak peduli harus menembus panasnya api, aku hanya ingin lari dari tempat ini. Aku yakin aku akan selamat, bukankah kucing punya sembilan nyawa? Nyawaku masih cukup banyak jika aku memang seekor kucing sekarang.
Aku melangkah, berlari dan berlari mencari jalan keluar dari api. Melangkah terus dengan berdebar-debar. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini! Siapapun, Bangunkan aku!
***
Aku tersentak duduk, terbangun dari ketidaksadaranku. Napasku seperti orang yang baru saja berlari puluhan kilo meter.
“Ah! Ohayōgozaimasu. Syukurlah Anda sudah sadar. Bagaimana perasaan Anda, Nona?” Seorang wanita berpakaian perawat rumah sakit bertanya kepadaku.
“Nani... Apa?”
Eh, tunggu! Suaraku tidak terdengar seperti suara kucing. Kutatap tanganku dan kupegangi seluruh wajahku dan tubuhku. Tanganku, wajahku, tubuhku, semuanya menjadi manusia kembali!
Benarkah ini?
“Aa ... kenapa saya bisa di sini? Apa yang terjadi?”
“Anda diselamatkan dari kebakaran di pusat perbelanjaan Kanagawa tadi malam.”
Kebakaran? Kanagawa? Apa maksudnya? Kanagawa? Kebakaran? Ahhh, kepalaku sakit sekali.
“Oh...” hanya itu ucapan yang keluar dari mulutku. Aku terlalu pusing untuk berpikir apa yang sesungguhnya telah kualami hingga bisa terjebak kebakaran di pusat perbelanjaan Kanagawa. Pandanganku lalu menyapu ke sekeliling ruangan. Ini ruangan yang bagus, maksudku ini kamar VIP!
VIP?
“Suster, siapa yang memesan kamar ini untuk saya? Saya pikir saya tidak pernah pesan kamar VIP.”
Siapa yang akan bayar? Aku tak punya banyak uang untuk bayar biaya kamar VIP Rumah Sakit di Jepang.
“Tuan Haruno Musashi.”
Mataku melebar. “Siapa?”
“Tuan Haruno Musashi.” Perawat itu mengulangi.
Haruno ... Musashi? Musashi?! Kuro?! Hah?
“Ya?”
“Di mana dia? Haruno Musashi?”
“Oh. Pagi sekali dia keluar dari rumah sakit setelah keadaannya lebih baik.”
Aku tertegun. Apa? Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Jadi kucing-kucing yang ada di mimpiku itu ... bukan mimpi? Atau apa?
“Saya akan memanggil dokter untuk memeriksa kembali keadaan Anda.”
Aku mengangguk. “Ya.”
Kemudian perawat itu pergi meninggalkanku. Aku dan segudang pertanyaan yang bertumpuk di dalam kepalaku.
Musashi atau Kuro, siapa sesungguhnya dia? Ingatanku menumpuk-numpuk mengisi kepalaku satu persatu. Emuishéré, Sacmis! Ah, bagaimana dengan wanita bernama Emuishéré? Dan ... Sacmis–mengingatnya membuat rasa takutku keluar–apa yang telah terjadi dengannya sekarang? Meski takut tapi aku tetap penasaran.
Namun, tak banyak yang bisa aku ingat tentang kejadian malam itu, hanya beberapa hal. Kurasa ingatan tentang kejadian berubahnya aku menjadi kucing kala itu sedikit demi sedikit–tanpa aku sadari–memudar di dalam memoriku. Akankah memudar dan hilang begitu saja?
***
Sebelum kembali ke Indonesia aku bermaksud membeli oleh-oleh untuk teman-temanku di sana. Saat itulah aku terhenti di depan sebuah manekin di dalam Shibuya 109. Manekin itu sangat menarik perhatianku, bukan pakaian atau tas yang dikenakan manekin itu yang menarik, tetapi yang teramat menaraik adalah sebuah mahkota yang kukenal yang terpasang rapi di kepala boneka manekin itu.
Mahkota Dewi Bast!
Tak boleh ada yang menjadi korbannya lagi! Dengan langkah pasti aku menuju mahkota itu. Aku akan membelinya, menyimpannya, kalau perlu menghancurkannya, pokoknya mengamankannya!
Saat aku meraih mahkota itu, seseorang juga melakukan hal sama. Aku memegang erat mahkota itu, tak akan aku berikan padanya. Namun, dia juga tak mau kalah.
“Hey! Aku melihatnya lebih dulu!”
Pria dengan paras perpaduan Asia dan Eropa itu menaikkan alisnya. “Nona berbau kucing, apa kau tidak kapok juga? Ini bukan milikmu!”
HAH? Nona ... apa? Dia ... “KURO?!”
“Ck! Sudah kubilang, Namaku Musashi!”
Senyumku mengembang. “Kau ... sungguhan!”
Rasanya aku ingin memeluknya. Sejak menjadi manusia lagi, banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya. Namun aku tak pernah bisa menemuinya hingga hari ini.
“Ck!” Kuro, maksudku Musashi, menarik mahkota itu dari tanganku dan membawanya pergi menuju kasir.
“Tunggu!” Aku mengikutinya. “Aku mau bertanya. Banyak sekali.”
Kuro melangkah terus seolah aku tidak ada.
“Kuro, apa kau juga pernah mengenakan bando itu? Apa kau membuat perjanjian akan melakukan apa saja asal menjadi manusia lagi? Apa yang terjadi malam itu?”
“DIAMLAH, NAMAKU BUKAN KURO!”
Dia memang Kuro!
Ah, ternyata itu sungguhan. Itu bukan mimpi. Aku sungguh pernah mengalami petualangan menjadi seekor kucing. Kuro atau Musashi harus memberi semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku nanti!






No comments:
Post a Comment