Thursday, January 1, 2015
Cinderella Celdam
Penghujung tahun yang selalu sama. Aku dan pekerjaan-pekerjaan kantorku.
Mungkin ini risiko karena aku memilih Jakarta dan sebuah perusahaan besar untuk tempat bekerja. Jika aku memilih bekerja di sebuah kota kecil, di suatu perusahaan yang lebih kecil, tentu ceritanya akan berbeda―kurasa.
Aku menghela. Jika aku tidak punya sesuatu yang bernama tanggung jawab maka aku sudah pergi meninggalkan semua pekerjaan yang menumpuk itu sekarang dan menyanggupi acara jalan-jalan dengan teman-teman.
Jika ada yang berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk di akhir tahun adalah akibat kemalasanku, itu salah besar. Laporan-laporan itulah yang datang sangat terlambat ke mejaku. Aku pernah memaksa rekan kerjaku untuk mengirimkan laporan lebih cepat, namun itu percuma, tetap sama, laporan-laporan itu tetap terlambat dengan segala bentuk alasan yang membuatku sakit kepala saja.
Jadi, setiap akhir bulan atau akhir tahun seperti sekarang, aku harus berusaha keras agar semua pekerjaan yang dilaporkan terlambat kepadaku itu bisa selesai tepat waktu. Sepertinya tidak seorang pun mengerti dan mengetahui seberapa keras aku bekerja, tidak ada. Dan bodohnya, aku tidak peduli akan itu, aku tidak memikirkannya karena yang kupikirkan hanyalah bagaimana aku harus menyelesaikan pekerjaanku tepat pada waktunya, hanya itu.
“Oh, bodohnya kamu Archie! Kapan kamu akan punya waktu untuk dirimu sendiri kalau terus begini?”Aku bicara dengan diri sendiri. Tentu hanya itu yang bisa kulakukan jika sedang sendirian seperti sekarang.
Aku menghela kesekian kali. Lorong lantai tujuh belas begitu sunyi malam ini. Hanya ada aku dan suara hak sepatuku yang berdetak-detak menabrak lantai.
“Mbak.”
Aku nyaris berteriak saat sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangku dan ketika berbalik dengan segera kudapati seorang perempuan berambut tergerai panjang di sana.
Aku menghela, lagi. “Kara? Ngegetin, aja, kamu. Tiba-tiba muncul di belakang kayak gitu. Gak kedengaran langkahnya pula...”
Dia teman satu kantorku, beda divisi.
Kara tersenyum. “Hehehe, sorry, Mbak. Tadi dari toilet,” ujarnya. “Sekarang mau balik. Kerjaan udah selesai.
Oh, beruntungnya dia.
“Mbak mau lembur lagi?”
“Iya.”
“Semuanya sudah pulang, lho, Mbak. Begitu rapat selesai jam sembilan tadi, semuanya langsung balik,” jelas Kara.
Sendainya aku juga bisa pulang cepat.
“Mbak!”
“I, iya?” Entah dia suka sekali membuat kaget atau aku yang terlalu lelah hingga menjadi sering sekali terkaget-kaget, tapi suaranya itu benar-benar mengusikku. Baru saja aku membayangkan bisa pulang lebih cepat agar dapat menghabiskan waktu dengan diri sendiri atau beberapa teman dan suara Kara segera menghancurkan bayangan indah itu.
“Mbak, kantong belanjaannya bolong, tuh.” Kara menunjuk ke arahku.
Aku mengangkat alis dan segera menoleh ke arah kantong plastik putih di tanganku. Bagian bawah kantong plastik itu sepertinya bocor. Beberapa isinya sudah keluar.
“Ke, ke mana? Di mana?”
“Itu.” Kara menunjuk ke sepanjang lorong di belakangnya.
Mataku melebar menatap beberapa pakaian tercecer di lantai. “Kara! Kok, nggak bilang dari tadi?”
Kara garuk-garuk kepala. “Lagian kenapa bawa-bawa pakaian ke kantor, sih, Mbak?”
“Bukannya bantuin malah ngajak ngobrol melulu,” aku protes sembari menghampiri pakaianku yang tergeletak manis di lantai dan memungutinya.
Kara cekikikan. “Sorry, Mbak. Saya balik duluan, ya.”
“Iya, iya, sana balik!”
Kara nyengir dan melenggang pergi
“Bikin kesal, aja,” aku bicara sendiri sembari menyusuri lorong yang tadi kulewati, mencari pakaianku yang tercecer
Membawa pakaian ke kantor. Ini bukan bagian pekerjaan. Aku berada di kantor ini siang dan malam demi menyelesaikan pekerjaan. Dan aku perlu mengganti pakaianku setiap enam jam―aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan pakaian kantor sehari semalam, jadi kubeli saja beberapa dari Mall terdekat karena aku tidak punya waktu untuk kembali ke rumah.
Bagaimana bisa kantong belanjaanku bocor seperti ini, sih? Untungnya karyawan yang lembur malam ini hanya aku, tidak akan ada yang melihat pakaianku berceceran di lantai kantor kecuali aku, dan Kara yang selalu berada paling akhir di kantor dan dia baru saja pamit pulang dan meninggalkan aku sendiri di sini. Kecuali jika aku salah―
Langkahku terhenti seketika, saat hendak berbelok menuju ke arah lift. Tampak olehku pintu lift tiba-tiba terbuka. Aku mengurungkan niat untuk mengambil pakaian yang tercecer tepat di depan lift dan menunggu di persimpangan lorong di balik tembok.
Sembari mengintip dari balik tembok, aku berharap siapa pun yang keluar dari lift itu tidak melihat ke bawah dan terus saja melangkah maju. Pergi secepatnya dari sana.
Namun, sepertinya memang tidak pernah ada apa pun yang akan sesuai dengan harapanku.
Sepasang kaki melangkah keluar dari dalam lift. Kaki yang panjang, bersepatu kets dan bercelana jins. Mataku melebar dan jantungku berdebar-debar ketika melihat siapa yang datang.
Dia?! Si Bos para IT!
Pria itu keluar dari lift dan—
TIDAK! JANGAN INJAK!! Aku nyaris memekik.
Mati aku! Dia menginjak pakaian yang tergeletak di depan lift itu. Dan menghentikan langkahnya. Aku menepuk jidat sendiri ketika ia menurunkan pandangannya ke bawah.
Sial!
Dia membungkuk dan meraih apa yang ada di bawah kakinya. Alisnya terangkat saat melihat apa yang ada di genggamannya saat itu. Celana dalam motif Leopard berwarna merah muda bercampur hitam yang lucu.
DUARR!!! Aku seperti kejatuhan rudal di atas kepalaku. Dan dengan langkah-langkah panjang aku berlari dari tempatku berdiri semula. Kabur, ngacir, minggat!!
Sebaiknya aku berpura-pura tidak tahu apa-apa.
***
“Archie, kamu mengerti?”
Aku tersentak oleh suara itu. Ketika pandanganku keluar dari kegelapan, aku mendapati wajah Pak Abimana. Ia menatap dengan mata melotot. Tidak, dia tidak marah, matanya memang selalu menatap dengan selebar itu.
Tatapanku kemudian beralih ke arah papan putih yang penuh coretan spidol merah tepat di belakang Pak Abimana. Aku mengerutkan dahi dan menggeleng polos. “Nggak, Pak.”
“Ya, sudah. Nanti diulangi lagi,” ujar pria itu.
Aku mengangguk. Sial! Sepertinya aku ketiduran!
“Kita lanjutkan ke bagian proses tutup buku setiap akhir bulan dan tahun,” Pak Abimana berkata.
Pria bertubuh jangkung yang berdiri di samping papan tulis itu sedang menjelaskan mengenai cara kerja sebuah program komputer yang telah dibuat oleh para IT bawahannya. Pak Abimana namanya, ia mengepalai depertemen yang berisikan para staf IT perusahaan kami.
“Setelah dilakukan penjurnalan pada program, berikutnya....”
Aku berusaha fokus kembali pada rapat siang ini yang sedang membahas mengenai update sebuah program komputer yang akan digunakan untuk pelaporan segala macam pekerjaan di perusahaan kami, mulai dari pendataan karyawan, barang, pekerjaan di lapangan, hingga transaksi keuangan. Aku masih berusaha fokus meski mataku teramat berat dan kepalaku berdenyut-denyut, akibat tidak tidur semalaman.
Udara di dalam ruang rapat terasa amat sejuk saat itu, pendingin udaranya menyebarkan dingin seolah sedang di musim salju. Sangat nyaman bersandar di kursi ruang rapat yang empuk, memejamkan mata, lalu melupakan segalanya.
Dan, aku tidak ingat bagaimana dan kapan aku terlelap kembali.
__
Takhh!
Sebuah hentakan di mejaku membuatku kembali membuka mata dan kudapati tubuh yang tinggi berdiri menjulang di samping mejaku.
Oh, tidak! Habislah aku kali ini! Apa yang terjadi? Apa Pak Abimana melihatku ketiduran saat rapat? Apa dia akan marah?
Pak Abimana menatapku sekilas, lalu menatap ke arah rekan-rekan lain yang berada di dalam ruang rapat.
“Semalam, siapa saja yang lembur di kantor?” Pak Abimana bertanya.
Aku menggigit lidah. Jangan bodoh! Jangan bicara atau dia akan mengomel karena memberi alasan lembur untuk tidur saat rapat.
Tidak ada seorang staf pun yang bersuara menjawab.
“Semalam, saya ke kantor,” lanjut Pak Abimana. “Saya sedang flu. Jadi, saya tertidur di ruang kantor. Begitu saya bangun...,” ia berhenti sejenak dan memegang dahinya. “Ada kompres di kepala saya,” lanjutnya kembali. “Saya ingin berterima kasih kepada siapa pun karyawan yang sudah berbaik hati itu. Dan ada yang ingin saya kembalikan....”
“Saya!” Suara seorang gadis terdengar, membuat semua kepala di ruang rapat tertoleh padanya.
“Saya lembur tadi malam, Pak,” gadis itu berkata. Dia Kara. Dia adalah salah satu fans Pak Abimana.
Meskipun Pak Abimana sering bersikap dingin hingga terkesan galak, namun ia tetap memiliki wajah tampan dan otak yang cerdas. Dan setiap hari semakin banyak gadis yang menyukainya semenjak tersebar kabar bahwa ia adalah putra dari salah seorang pemilik usaha perhotelan dan resort terbesar di Indonesia.
“Kamu?” Pak Abimana bertanya kepada Kara.
Kara mengangguk. “Ya. Saya yang... meminjamkan kain kompres itu,” ujarnya dengan senyuman malu-malu.
“Oh.” Pak Abimana mengangguk. “Terima kasih, Kara.” Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu. “Oh, ya. Ada yang mau saya kembalikan. Sepertinya kamu menjatuhkannya semalam.”
Senyuman malu-malu Kara seketika berubah menjadi seulas senyum kaku di wajah merah padam ketika ia melihat apa yang diletakkan Pak Abimana di meja, di tengah-tengah semua orang yang mengelilingi meja rapat itu.
Sebuah celana dalam motif Leopard berwarna merah muda dan hitam.
Kara ternganga di tempatnya tak bersuara lagi. Dia terlalu malu untuk berkata-kata, sepertinya.
Aku nyaris tertawa sekencang-kencangnya jika aku tidak melihat Pak Abimana di sebelahku.
“Rapat kita lanjutkan setelah makan siang.” Suara Pak Abimana memecah hening. “Dan, saya harap saat itu tidak ada yang akan menganggap suara saya sebagai lagu nina bobok.” Ia menyindirku. Kemudian ia menutup percakapannya dengan ucapan selamat siang, dan ia pun pergi meninggalkan ruangan rapat.
Semua staf yang mengelilingi meja rapat persegi panjang itu bisa menghela. Beberapa tertawa kencang sembari menatapku dan Kara. Beberapa langsung pergi untuk makan siang.
Dan, aku tidak mau lebih lama lagi berada di ruangan yang memalukanku itu.
***
“Ketiduran lagi?”
Aku mengangguk sembari mengunyah makan siangku. Sesaat mataku melirik ke arah beberapa karyawan perempuan yang melewatiku sambil tersenyum-senyum. Bisa kupastikan mereka sedang menertawaiku yang telah tertidur lelap saat rapat. Tertidur dua kali!
Mengerikan seandainya aku tertidur dan menambahkan dengkuran di saat itu. Sayangnya aku tidak ingat apakah aku mendengkur atau tidak. Rasanya aku mau masuk ke dalam lemari dan tidak keluar lagi hingga ratusan tahun kemudian―atau aku resign saja dari perusahaan?
“Karena lembur sampai pagi lagi?” Daniel bertanya lagi.
Aku kembali mengangguk.
“Makanlah yang banyak, kamu semakin kurus karena kebanyakan lembur dan kurang tidur,” ujar Daniel.
Dia sahabat yang perhatian dan baik. Aku mengangguk dan berusaha menelan makan siangku yang terasa pahit di mulut. “Gak enak, Dan, Pahit. Harusnya kita gak makan di kantin kantor. Masakannya gak enak siang ini.”
“Apa? Pahit? Gak enak?” Daniel mengerutkan dahi. Ia menatap ke arah makan siangku, lalu mencicipinya. “Gak pahit, kok. Biasa, aja.”
“Pahit. Beneran.” Aku berkeras.
“Kamu gak sakit, ‘kan?” Daniel meletakkan tangan di dahiku. “Nah, lho. Panas, nih, kepala kamu. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Aku antar, ya?”
“Daniel....” Aku mengibaskan tangannya dari dahiku. “Sakit apanya? Cuma flu, aja. Ntar juga sembuh sendiri.”
“Archie, kamu perlu istirahat.”
“Iya. Ntar aku istirahat. Tapi setelah kerjaan beres. Dikit lagi, kok.” Aku tersenyum. “Aku punya plester kompres, tenang, aja.”
Daniel mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. “Keras kepala kamu.”
Aku nyengir dan melanjutkan makan tanpa selera makan.
Pekerjaanku memang akan selesai sebentar lagi. Aku akan menyelesaikannya malam ini. Tepat tanggal 31 Desember. Aku akan menyelesaikannya tepat waktu.
***
Aku akan melihat kembang api tahun baru bersama teman-teman malam ini.
Begitulah niatku ketika pukul 11.30 malam aku bisa menyelesaikan semua pekerjaan.
Aku sudah menyelesaikan semuanya dan hanya perlu melakukan proses terakhir, yaitu mengirimkan laporannya ke program lain yang menjadi pusat berkumpulnya segala data yang telah selesai kuinput. Mengirimkan laporan itu bukan hal yang sulit, aku hanya cukup melakukan sekali klik pada mouse.
“Selesai!” ucapku puas setelah melakukan proses terakhir dari pekerjaanku.
Namun, sesuatu terjadi. Sesuatu yang membuatku mengerutkan dahi melebihi biasanya.
Tiba-tiba saja program yang dijalankan menggunakan internet itu melaporkan bahwa ada kesalahan atau kekurangan dalam pelaporanku. Yang artinya aku tidak mungkin bisa melakukan proses akhir dengan sempurna jika terdapat kekurangan dalam laporan itu.
“Nggak mungkin! Aku sudah menyelesaikan semuanya!” Aku kebingungan dibuatnya.
Kembali kuperiksa laporan yang telah kuinput. Dan saat itu rasanya aku seperti orang yang lebih takut daripada melihat hantu!
Laporan yang telah kuinput selama satu bulan itu menghilang separuhnya!
“Apa? Kenapa?” Aku panik setengah mati.
Di mana data-datanya? Padahal aku sudah menginput semuanya! Seharusnya ada! Seharusnya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku hanya dengan satu kali proses lagi saja. Apa yang terjadi pada program ini? Apa program ini mengalami error? Tapi tadi masih baik-baik saja, kok!
Aku terpuruk di kursiku. Putus asa. Separuh dari pekerjaan yang telah kuselesaikan itu benar-benar lenyap tak berbekas!
Aku terlalu kesal hingga air mataku keluar. Setelah berhari-hari dan bermalam-malam aku menginput data-data pekerjaanku hingga selesai, mengabaikan rasa capek dan rasa lapar dan kantuk, sering terlambat makan serta sering kurang tidur. Dan sekarang tiba-tiba saja semua yang telah kukerjakan hilang! Oke, bukan semua, tapi separuhnya. Oh, Tuhan!!
Aku benci jika apa yang sudah kurencanakan tidak berjalan sesuai rencana. Seperti sekarang. Aku sudah merencanakan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan setelah itu aku bisa beristirahat. Tapi rencana itu hancur berantakan dalam sekejap.
Satu hal tentang rencana yang kupelajari hingga detik ini adalah : rencana terbaik adalah tidak ada rencana.
Aku tidak mungkin menginput semua laporan yang hilang itu kembali dalam sekejap. Besok sudah tanggal 1 Januari, dan itu artinya pekerjaan ini harus selesai besok.
Apa lagi yang terburuk yang bisa kudapatkan sekarang?
Saat aku sedang berpikir demikian, tiba-tiba saja lampu-lampu di ruangan kantor padam.
Dan, aku tak bisa lagi menahan tangisku untuk keluar.
Huhuhuuuuu.... Apa aku sedang dikutuk?!
Sendirian. Di ruangan kantor yang gelap. Pekerjaan yang telah kukerjakan hilang.
Dan, kini suara langkah kaki yang mengentak terdengar sayup-sayup di telingaku.
Aku tersentak dan seketika tangisku berhenti. Siapa itu?
Imajinasiku segera menjadi liar. Bayangan segala macam film horor yang pernah kutonton merasuki pikiranku. Bagaimana jika langkah kaki itu adalah hantu, atau pembunuh, atau pencuri, atau orang jahat, atau―
Kuberanikan diri menoleh ke belakang saat langkah itu terdengar semakin dekat. Dan―
Teriakanku beradu dengan teriakannya. Kami sama-sama terkejut satu sama lain.
Kuhentikan teriakan cepat ketika pandanganku menangkap wajah seseorang yang kukenal.
“Pak … Abi?”
Pria itu mengembuskan napas hingga api dari lilin yang dibawanya nyaris padam. “Kamu? Kenapa duduk dalam gelap sambil menangis? Bikin saya kaget saja.”
Aku mengembuskan napas putus asa. “Kerjaan saya, Pak ….”
“Kenapa? Kerjaan kamu belum selesai?”
Aku menggeleng. “Sudah selesai. Tapi … hilang.”
“Hilang? Kenapa bisa hilang?”
Aku menggeleng lagi. “Gak tahu.”
“Karena itu kamu nangis?”
Aku menunduk malu.
“Gak usah khawatir,” ujar Pak Abimana. “Kalau data-data yang sudah diinput biasanya program sudah membuat back up otomatis. Jadi bisa dikembalikan, kok.”
“Bisa, Pak?” Aku mengangkat kepala tak percaya.
“Iya.”
Rasanya aku benar-benar lega mendengarnya, seperti saat di bawah panas terik dan kena siram hujan salju.
“Jam berapa terakhir kali kamu menginput data?”
“Kira-kira jam sebelas.”
“Oke. Oke. Nanti akan saya cek. Kalau sudah selesai nanti saya hubungi."
“Oke, Pak! Terima kasih, Pak.”
“Ya. Tidak masalah,” jawab Pak Abimana santai.
Kalau aku tahu ada back up-nya, aku tidak akan buang-buang air mata untuk menangis. Bodohnya aku!
Aku mengembuskan napas dalam-dalam. Teramat sangat lega. Syukurlah, akhirnya aku tidak perlu menginput ulang pekerjaanku. Thank God.
Ruangan kantor kemudian tiba-tiba kembali terang. Lampu sudah menyala lagi. Rasanya seperti dilemparkan ke surga.
Cepat-cepat kurapikan meja kerjaku, bermaksud segera pulang.
“Pak Abi nggak ikut malam tahun baruan dengan staf lain di resto?” tanyaku. “Katanya ada acara di restoran jepang.”
“Nggak.”
Aku mengangguk. “Saya balik duluan kalau begitu.”
“Kamu yakin?”
Aku menoleh ke arah Pak Abimana. “Ya. Kenapa?”
Pak Abimana menunjuk ke arah wajahku. “Dengan wajah seperti itu?”
Aku menautkan alis. Lalu kuambil ponselku dan bercermin di layarnya. Oh, ya, ampun! Akhirnya aku tahu kenapa tadi Pak Abimana berteriak saat melihatku.
Aku tersenyum malu.
Riasan mataku luntur karena menangis, wajahku jadi menyeramkan karenanya. Buru-buru kubersihkan warna maskara dan eyeliner yang luntur di bawah mataku itu dengan tissue basah yang selalu tersedia di atas mejaku.
“Archie.”
“Ya, Pak?”
“Terima kasih.”
Aku mengangkat alis. “Untuk apa?”
“Plester kompresnya.”
DUARR!! Sepertinya ada yang meledak di dalam kepalaku. Kalimat itu membuatku tergugu.
Oh, iya! Aku baru sadar kalau saat ini aku sedang mengenakan plester kompres bermotif sama seperti yang kutempelkan diam-diam di dahi Pak Abimana kemarin malam―motif jerapah yang lucu. Cepat-cepat kulepas plester kompres demam itu dari kepalaku. Ini memalukan!
Oke, kenapa aku bisa menempelkan plester kompres diam-diam? Sebenarnya, waktu itu aku sedang dalam misi menyelinap diam-diam ke ruangan Pak Abimana untuk mengambil milikku yang ia temukan di depan lift―kalian tahukan apa. Namun, aku tak menemukan apa-apa di ruangannya kecuali Pak Abimana yang ambruk di lantai karena demam. Apa boleh buat, aku melupakan niat semula dan akhirnya membantunya tiduran di lantai dengan memberikan bantal sofa yang ada di ruangannya dan selembar plester kompres yang selalu kubawa-bawa di dalam tasku.
Pak Abimana mengeluarkan sesuatu yang kukenal dari saku kemejanya. “Punya kamu, ‘kan?”
Kuambil celana dalam motif Leopard itu cepat-cepat dan menyimpannya ke dalam tas. Itu memang punyaku.
“Pak Abi tahu sejak kapan?”
“Sejak kapan, apa itu penting?”
Aku menunduk, tak berani melihat wajah pria itu. “Tapi, tadi siang ‘kan, Kara ….”
“Bagaimana? Apa itu pantas diterima seorang pembohong?” Pak Abimana bertanya.
Maksudnya, dia tahu Kara berkata bohong dan dia sengaja melakukan sesuatu yang memalukan Kara di ruang rapat tadi siang? Sungguh pria yang mengerikan.
Aku hanya bisa ber-oh pendek mendengar kalimatnya.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa saya tidak merayakan malam tahun baru dengan staf lainnya?”
“Karena Pak Abi sibuk, ‘kan?” aku balik bertanya.
“Karena saya sedang menunggu kamu menyelesaikan pekerjaan kamu.”
“Hah?” Aku mengangkat kepala, menoleh ke arahnya.
Pak Abimana tersenyum. Dia kelihatan sangat tampan saat itu. Baru kali ini kulihat dia tersenyum. Ternyata dia bisa tersenyum juga.
“Kamu hanya melihat komputer saja setiap hari. Apa komputer itu lebih menarik daripada pria tampan yang melirik ke arah kamu?”
“Apa?”
“Jadi, jika saya bilang … saya menyukai kamu, apa kamu akan lebih memilih komputer itu daripada saya?”
Apa maksudnya ini?
“Saya pikir, dua tahun itu cukup bagi saya berdiri di depan kamu sementara kamu selalu menatap ke arah komputermu saja,” ujarnya. “Jadi, bagaimana?”
“Apa?”
“Kamu memilih komputer atau saya?”
Pertanyaan macam apa itu?
“Jika kamu memilih saya, bagaimana jika kita merayakan malam tahun baru ini bersama?” Pak Abimana mengulurkan tangannya padaku.
Jika ini mimpi, biarkan aku tidak terbangun.
Aku tersenyum sembari menyambut uluran tangannya. “Pak Abi memberi saya pilihan yang terlalu mudah,” ujarku.
“Jadi, kamu mau saya memberi pilihan yang lebih sulit?”
“Nggak!” jawabku cepat. “Nggak, Pak ….”
“Abi, tanpa Pak,” ujarnya tegas.
“Pak ….”
“Abi.”
“Abi.” Sedikit canggung rasanya menyebut namanya tanpa kata ‘Pak’.
Pak Abimana meniup lilin yang sejak tadi masih ia pegang di tangan kirinya. Ia lalu menganggukkan kepala ke arah belakangku.
Spontan aku menoleh ke arah itu. Dan, dari jendela ruangan kantor, tampak di kejauhan percikan warna-warni di tengah hitamnya langit malam.
“Selamat tahun baru, Archie.”
“Selamat tahun baru, Pak. Aa, a, Abi,” sahutku gugup.
Pak Abimana tersenyum. Terasa genggaman tangannya semakin bertambah erat.
Dari ruangan kantor itu kami melihat kembang api di kejauhan seolah kami bisa mendengar teriakan selamat tahun baru yang diiringi suara terompet yang ramai.
Senyumanku mengembang tanpa terasa.
Jika ini sungguh mimpi, kuputuskan untuk tak ingin terbangun lagi.
Ini adalah malam tahun baru yang luar biasa, malam tahun baru yang tidak pernah ada di dalam rencanaku. Bahkan tak pernah ada di dalam khayalanku meski hanya sedikit.
Sesuatu selalu bisa terjadi tanpa direncanakan. Dan rencana-rencana terkadang sering berantakan. Tapi sesuatu yang buruk tidak akan terjadi terus-menerus, karena sesuatu yang baik akan datang bergantian.
Hari ini adalah hari yang baru. Maka, raihlah hari ini! SELAMAT TAHUN BARU![]
Labels:
Comedy,
Romance,
Short Story
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment