
“MR. WOMANIZER. Julukan itu masih terlalu manis.” Aku membaca halaman gosip di majalah Pemuda-Pemudi Nusa Bangsa-PENUS, yang merupakan majalah sekolah kami, SMU Nusa Bangsa Jakarta Selatan. “Kenapa mereka nggak langsung menjulukinya playboy cap karung aja?”
“Siapa?” tanya Camila, seraya sibuk menata makanan di atas meja kami, dia ingin makanan-makanan itu terlihat rapi dipandang mata sebelum dimakan. Dia selalu ingin semua hal terlihat rapi. Oh, Miss Perfect Camila.
“Siapa lagi selain model baru jadi itu, Anthony. Pacar Sava, si Peri baik hati kita.” Aku menjawab pertanyaan Camila seraya melirik ke arah Sava yang duduk di hadapanku.
Sava tersenyum. “Anthony is a good guy.”
“No! He’s NOT! Kamu yang terlalu baik, Sava. Jadi semua orang kamu anggap baik. Kamu seharusnya tahu, nggak semua orang itu baik, dan kamu nggak harus berbuat baik kepada semua orang.”
“Berbuat baik itu menyenangkan,” ujar Sava.
“Iya. Tapi kamu harus bisa memberi batas untuk diri kamu sendiri. Kamu nggak harus menyenangkan semua orang, khususnya…”
“Orang-orang yang hanya ingin memanfaatkan kamu.” Camila memotong kalimatku dan melanjutkannya. “Kiri, kamu udah mengatakan itu berkali-kali. Aku sampai mengingatnya di luar kepala. Dan… itu nggak akan membuat Sava berubah.”
“Cam, shut up! Aku sedang memberikan Sava cara berpikir baru.” Aku berkata dengan nada sok bijak.
“No!”
“Yes!”
“NO!”
“YES!”
“ENOUGH!”
Suara Sava seketika menghentikan perdebatan antara aku dan Camila. Aku dan Camila kompak menoleh ke arahnya.
“Kenapa sih kalian selalu berdebat nggak jelas seperti itu?”
Aku tersenyum. Aku senang, Sava akhirnya bisa membentak! “Kamu harus lebih sering mengungkapkan perasaan kamu. Yap! Tepat seperti itu!”
“Ini pertama kalinya aku dengar kamu membentak, Sava. Apa kamu mulai terpengaruh kata-kata Kiri?” tanya Camila khawatir.
Sava menggeleng. “Aku hanya nggak mau kalian bertengkar, oke?”
“Sering-seringlah melakukan itu. Keluarkan perasaan kamu, kapan saja. Itu bagus untuk kesehatan,” ujarku, lagi-lagi dengan sikap sok bijak.
“Asal jangan over dosis kayak Kiri. Dia membuat semua orang ngeri.” Camila berusaha menyeringai seram, tapi dia tetap saja terlihat manis dan cantik.
Aku menjulurkan lidah kepada Camila. “Seenggaknya aku mengatakan apa yang ingin aku katakan. Itu lebih baik daripada membohongi orang-orang agar mereka senang, seperti yang dilakukan Sava.”
“Sava nggak berbohong. Dia memang baik pada semua orang. Dan dia senang membuat semua orang senang.” ujar Camila, kembali membela Sava.
“Itu kedengaran seperti munafik! Menekan perasaan sendiri untuk menyenangkan orang lain. Aku nggak habis pikir Sava bisa berbuat seperti itu sepanjang hidupnya. Apa dia nggak akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa?!”
“NGGAK! Because Sava is not you, baby. Dia nggak akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa!”
Aku kembali berdebat dengan Camila. Entah kenapa dia selalu nggak sependapat denganku. Itu menyebalkan, tapi itu lebih baik daripada dia diam saja dan menurut seperti Sava.
Perdebatanku dan Camila sukses membuat semua orang terganggu. Seisi Kantin Sekolah menoleh ke arah kami. Semuanya berkomentar dan mengeluh. Terkecuali Sava.
Entah apa yang dipikirkan Sava, dia hanya diam dan terlihat kebingungan. Dia nggak berusaha menghentikan kami lagi, dia nggak berusaha menjadi penengah, dia nggak berusaha mengutarakan isi kepalanya kepada kami, dia bahkan nggak berusaha membela salah satu di antara kami. Aku pasti akan berakhir di Rumah Sakit Jiwa jika sehari saja disuruh bersikap seperti Sava. Itu sikap yang paling mengerikan.
***
“SAYANG, KAMU mau ‘kan membantu Mama? Ini demi kelangsungan hotel kita juga.” Mama berkata seraya meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja di hadapanku.
“Menemani anak orang kaya itu seharian?” Aku ragu-ragu. Aku nggak mau mengganggu jadwal akhir pekan yang sudah disusun bersama teman-temanku. Menemani anak rekan bisnis Mama, kedengarannya nggak menyenangkan. Bukankah itu berarti aku harus berbuat sangat manis setiap saat kepada anak orang kaya itu?
“Iya, sayang. Hanya satu hari saja.”
“Satu hari? Hanya satu hari?”
Mama mangangguk. “Diaz hanya satu hari di Indonesia. Dia berkunjung karena ingin menemui papanya sekaligus jalan-jalan sebentar di sini, sebelum ia pergi ke Australia untuk manggung di sana. Diaz Louise Del Castillo. You know who?” Mama mencoba menyemangatiku dengan mengingatkan bahwa Diaz Louis Del Castillo adalah salah satu personil band yang lumayan beken saat ini, Harlequins Town.
“Oh …” Aku mengangguk-angguk tanpa minat, aku nggak minat sama yang beken-beken. “Tapi, besok kan aku ada kegiatan di sekolah. Bagaimana aku bisa nemenin dia, mam?”
“Ajak dia ke sekolah kamu saja. Bagaimana?”
Aku berpikir-pikir. “Oke. Hanya sehari, nggak masalah.”
“Terima kasih, sayang. Tenang saja, Diaz mengerti sedikit bahasa Indonesia karena neneknya orang Indonesia,” jelas Mama. “Oh, dan jangan lupa! Kamu harus bersikap manis padanya. Jangan bersuara keras-keras, jangan mengatur, jangan mengerjai dia, jangan cerewet, jangan berkelahi dengan siapa pun, jangan melakukan apa pun yang akan memberikan kesan buruk kepada tamu kita. Jangan lakukan seperti apa yang sudah kamu lakukan kepada tamu dari Cina itu, tempo hari. Bagaimana pun sikap tamu, kamu harus menghormatinya. Karena tamu adalah Raja! Kamu mengerti?”
Ap, APA?! Oh, My God! Itu yang nggak mau aku dengar dari Mama.
Semoga saja akan mudah mematuhi amanat Mama itu. Semoga saja anak orang kaya bernama Diaz ini adalah anak baik-baik seperti Sava, semoga saja dia tidak seperti tamu hotel dari Cina yang genit itu, semoga saja aku diberikan mukjizat agar bisa berbuat manis satu hari saja. Amin.
***
KAMAR NOMOR 606. Aku menatap pintu kamar hotel di hadapanku. Kalau bukan karena permintaan Mama, aku nggak akan mau melakukan ramah-tamah nggak penting ini.
Aku mengetuk pintu kamar itu. “Tok! Tok! Tok!” Ketuk satu kali. Tidak ada jawaban. Ketuk dua kali. Masih tidak ada jawaban. Ketuk tiga kali. Tidak ada jawaban sama sekali. Hening seperti nggak ada penghuninya.
Apa aku terlalu pagi? Aku melihat jam di ponselku. Pukul 8.34 pagi. Tidak! Ini bukan pagi lagi, ini sudah sangat sangat sangat siang!
“DIAZ!” teriakku, seraya mengetuk pintu kamar itu dengan nggak sabar.
Ups!! Jangan teriak-teriak, salah satu pesan Mama. Huaaaaah… kenapa aku nggak boleh teriak?
Aku mengetuk pintu lagi. Beberapa belas detik kemudian pintu itu akhirnya dibuka.
Seorang cowok muncul dari balik pintu. Dia mengenakan jeans belel dan t-shirt hitam polos, tubuhnya lebih tinggi dariku, kulitnya coklat pasir, wajahnya Latin banget, rambut hitamnya acak-acakan, dan … dia KEREN! Diaz Louise Del Castillo. 18 tahun. Lead vocal dan Gitaris Harlequins Town.
Aku terpana sesaat. Dia lebih keren dari yang terlihat di poster, majalah, atau televisi.
“Ehm … hai! Aku Kiri, putri pemilik hotel ini. Mamaku minta agar aku menemani kamu selama satu hari ini.”
Diaz menggaruk-garuk kepalanya. “Kiri?” Kemudian ia mengangguk. “Okay.” Dia kembali masuk ke dalam kamarnya, dan kuikuti dia.
“Diaz, pagi ini aku punya jadwal latihan band di club musik sekolahku. Jadi, kamu bisa ikut denganku sebelum kamu jalan-jalan keliling Ja-kar … ta,” aku ternganga melihat Diaz telah menghempaskan dirinya di atas tempat tidur dan melanjutkan tidurnya kembali.
Apa dia bercanda? Aku harus latihan band jam 9.30.
Aku ingin meneriakinya agar bangun, tapi terhenti saat ingat pesan Mama. Aku menghembuskan napas, mencoba lebih bersabar. “Diaz, kamu masih mau tidur? Ini sudah hampir jam sembilan. Ini sudah siang.”
Diaz tidak menjawab.
Wah, dia menguji kesabaranku! Haruskah aku meneriakinya supaya dia menjawabku? Tapi, tidak bisa, tidak boleh. Aku tidak boleh merusak imejku, imej Mama, ataupun imej hotel ini di mata anak rekan bisnis Mama. Jika aku melakukan kesalahan kecil saja, kemungkinan besar Diaz akan membesar-besarkannya di hadapan papanya. Itu bisa merusak reputasi Mama di mata rekan-rekan bisnisnya. Oke. Aku akan bersabar. Hanya untuk hari ini.
“A … Hellooo. I should go to school now. Setiap sabtu, jadwal sekolah kami adalah kegiatan bebas di club masing-masing. Dan hari ini, jam setengah sepuluh, aku harus sudah sampai di sekolah untuk latihan band di club musikku.” aku mencoba menjelaskan. Aku harap dia akan mengerti. “Jadi, kalau kamu mau ikut …”
“No.” Diaz menjawab tanpa membuka matanya.
“What? No?” Hey! Itu bagus! Aku tersenyum senang nyaris melompat-lompat. “Oke. Kalau begitu aku akan pergi ke sekolah.”
“And leave me here alone?”
“What?”
“Bukankah kamu harus menemaniku seharian?”
“Eng … iya, sih. Tapi … sekolahku …”
“Izin saja. Hanya untuk hari ini, tidak masalah ‘kan?”
Apa?! Apa dia pikir semudah itu? Aku sudah bertarung mati-matian dengan tiga band sekolah saingan kami untuk memperebutkan jadwal latihan band di jam kedua untuk hari ini! Jam yang paling ideal ini tidak bisa aku dapatkan setiap hari. Dan dia menghancurkannya begitu saja?
“Telpon sekolah kamu dan izin saja. Aku mau memejamkan mata sebentar lagi, jadi jangan berisik!” Itu kalimat terakhir Diaz, sebelum ia mengeluarkan suara seperti babi di tempat tidurnya.
Keren-keren tapi ngorok. Huuu!
Aku menatap layar ponselku dan mulai mencari nama Camila di contacts. Camila pasti akan mengomel lagi, kalau aku tidak datang lagi kali ini. Aku sudah terlalu sering tidak datang. Saat kebagian jadwal latihan pukul 7 pagi, aku bangun kesiangan. Saat kebagian jadwal pukul 12 siang, aku ketiduran. Dan saat kebagian jadwal pukul 14.30, aku melupakannya. Oh, ya ampun!
Aku menghubungi Camila. Dan beberapa saat setelah aku bilang padanya bahwa aku nggak bisa datang latihan band, dia langsung mengomel.
“Kiri, kamu sudah terlalu sering melakukan ini pada band kita.” Camila terdengar kecewa. “Ayolah Kiri, jangan lakukan ini lagi!”
“Sorry, Cam. Please, dukung aku satu kali ini aja. Aku janji…”
“Lain kali aku pasti datang,” Camila memotong kalimatku dan melanjutkannya. “Kamu selalu mengatakan hal yang sama. Sebenarnya kamu masih ingin band ini ada atau kita bubarin, aja?”
“Cam, puhlease. Satu kali ini aja, mengertilah, aku mohon. Aku nggak pernah mengatakan yang ini kan?” aku terpaksa memohon, dan ini nggak pernah kulakukan. Aku sungguh nggak mau bandku bubar.
“Oke. Fine! Ini yang terakhir kamu merusak jadwal latihan kita. Kalau kamu lakukan lagi, kita bubar aja.”
Aku tersenyum senang. “Thank you, Cam. Mwaaaah! I wanna hug you.”
“Oh, whatever. Hey, tapi kenapa kamu nggak bisa datang?”
“Itu … karena …” Aku melihat Diaz yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. “Karena anak orang kaya itu.”
***
BARU EMPAT jam aku bersama anak orang kaya itu, aku segera tahu bahwa DIA SANGAT MENGESALKAN! Bukan saja sok cool nggak suka ngomong, tapi juga kalau dia ngomong pasti nggak enak banget didengar.
Selain itu, dia sangat bossy. Sedikit-sedikit dia menyuruh. Ambil ini, ambil itu, atau carikan ini, carikan itu. Mau ini, mau itu. Padahal dia seharusnya bisa melakukan semua hal itu sendiri tanpa menyuruh-nyuruh. Ugh, aku sangat direpotkan olehnya. Dia bersikap seolah aku adalah babysitternya. Dasar anak orang kaya! Rasanya aku ingin menggilingnya!
“Kiri, ambilkan wasabi itu!”
Wasabi itu hanya beberapa senti di hadapannya dan dia minta aku mengambilkannya? Aku tidak ingin, tapi aku lakukan saja apa yang ia minta. Aku ambil wasabi itu dan menyerahkan padanya.
“Hey, ayo dimakan. Jangan khawatir, aku yang traktir,” Diaz berkata seraya mengunyah sepotong sushi.
Euuuh. Aku sebenarnya tidak suka sushi, namun aku terpaksa memakannya demi menghargai Diaz. Demi kesopanan, begitu kata Mama.
Aku memasukkan sepotong sushi ke dalam mulutku. Ugh. Harusnya aku tolak saja saat ia mengatakan ingin sekali makan siang di Restoran Jepang.
“Eng, Diaz....”
“Hmm?”
“Permisi. Aku mau ke belakang sebentar.” Aku benar-benar harus pergi.
Diaz mengangguk dengan sikap tak peduli, ia lebih berkonsentrasi mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Aku nyengir sedikit, kemudian pergi meninggalkan Diaz.
Aku melangkah cepat ke arah toilet. Oh, ya ampun. Wajahku, leherku, rasanya mulai gatal-gatal semua. Aku alergi makanan laut! Aku baru saja memakan sushi yang bercampur udang. Seharusnya aku nggak memakannya. Huhuuuhuuuu.
Begitu sampai di dalam toilet, aku langsung merogoh tasku, mengambil obat alergiku dan menelannya cepat-cepat. Oh, Tuhan. Aku tidak mau Diaz melihat wajahku bengkak merah padam saat keluar dari restoran sushi ini. Dia bisa mengira bahwa aku adalah manusia jadi-jadian!
Untung saja aku selalu membawa apa saja di dalam tasku, makanya aku terselamatkan.
Aku menatap wajahku di cermin, tidak berubah jadi Mr. Crab atau Squidword.
Haha! Bagus! Fiuuuuh. Aku lega.
Setelah merasa bahwa aku baik-baik saja, meski kulit bagian leherku masih terasa agak gatal-gatal, aku keluar dari toilet.
Saat berjalan menuju meja kami, aku melihat seseorang yang sangat familiar.
Oh, iya! Dia Anthony, pacar sahabatku Sava. Dia tampak bersama seorang wanita yang sepertinya lebih tua darinya. Mungkin bersama mama atau tantenya.
Bermaksud ramah segera aku menghampiri dan menyapanya.
“Hai, Anthony! Lagi jalan sama mama kamu?” sapaku.
Anthony dan wanita itu menoleh ke arahku. Tatapan mereka sekilas seperti tidak suka melihatku.
“Maaf. Saya bukan mamanya,” wanita cantik berpenampilan elegan dan menggoda itu berkata. Ia kemudian menoleh ke arah Anthony dan berkata, “apa dia teman kamu, sayang?”
Anthony menggeleng. “Aku tidak kenal dia. Mungkin dia salah satu fansku,” jawab Anthony santai.
APAAAA??? Dia bilang tidak kenal?! Mungkin kami memang tidak kenal baik, sih. Tapi sangatlah bohong jika dia bilang tidak kenal padaku. Aku sedikit shock.
“Oh,” wanita itu mengangguk. Ia kemudian menoleh ke arahku dengan tersenyum angkuh. “Kami ingin sekali menikmati makan siang tanpa terganggu. Jika kamu tidak keberatan, temui saja Anthony saat dia sedang mengadakan jumpa fans.”
Aku … sangat … tersinggung … sekarang!
Anthony memang adalah model pendatang baru yang katanya punya banyak fans, namun aku bukanlah salah satu di antara fans-nya itu!
Aku menghembuskan napas mencoba sedikit bersabar. Aku menarik bibirku ke samping, memaksa mengeluarkan senyum termanisku. “Maaf. Saya tidak bermaksud mengganggu. Tapi, apa Tante adalah tantenya Anthony atau manajernya mungkin?” Aku penasaran siapa perempuan sombong ini.
Wanita itu tersenyum. “Bukan. Dan, tidak penting kamu tahu ada hubungan apa di antara kami.”
Aku mengangguk. Aku menoleh ke arah Anthony dengan tatapan aku akan menghajarmu orang sombong! Lihat saja nanti!
“Oke. Permisi.” Aku tersenyum terpaksa, lalu melangkah pergi dengan perasaan ingin meledak.
Tapi, aku berbalik lagi ke meja Anthony. Ada yang lupa kusampaikan. Aku menoleh ke arah Tante sombong itu. “Oh iya Tante, saya bu-kan fans Anthony. Dia hanya mirip dengan orang yang saya kenal saja. Permisi.”
Setelah mengatakan itu aku kembali berjalan menuju toilet seraya menekan nomor ponsel Camila. Camila harus tahu ini!
“Hallo, Cam. Kamu tahu, sekarang Anthony sedang bersama seorang Tante sombong yang terlihat genit.”
***
BERIKUTNYA, AKU mengikuti kemauan Diaz untuk main ke taman hiburan.
Kami menghabiskan waktu dengan berkunjung ke Taman Impian Jaya Ancol. Di Dufan, Diaz mengajakku mencoba beberapa permainan yang membuat perutku mual. Rasanya aku bisa muntah di wajahnya jika aku tidak bisa menahan diri. Aku tidak suka Dufan.
Lalu, saat menjelang senja, Diaz mengajakku mencari tempat untuk membeli beberapa peralatan mandi untuknya. Aku pun mengajak Diaz ke sebuah Mall.
Akhirnya aku bisa melampiaskan semua yang bertumpuk di dalam kepalaku dengan berbelanja! Oh, yeah!
Di Mall itu tanpa sengaja aku bertemu Camila dan Sava. Aku langsung menghampiri mereka, aku ingin memperkenalkan mereka pada Diaz.
Mungkin Sava nggak begitu suka musik rock, tapi dia mengenal Harlequins Town. Dan Camila pastilah sangat mengenal Harlequins Town, karena dia sangat up to date, tapi Camila katanya nggak suka anak band. Berita bagusnya mereka kenal Diaz, berita bagusnya lagi mereka nggak akan norak memuja-muji Diaz. Thank God cuz i have best friends like them!
“Camila! Sava!” aku berlari ke arah Camila dan Sava dengan riang, mengagetkan mereka.
Camila dan Sava menoleh ke arahku. Mereka sama sekali tidak tampak terkejut dan mereka justru lebih tampak seperti sedang ada masalah.
Sava menangis dan Camila tampak sedang berusaha menghiburnya.
“Kenapa kamu nangis?” tanyaku pada Sava. Namun, dia nggak menjawab. Aku lalu mencari jawaban dari Camila, “Camila? Ada apa?”
Camila geleng-geleng kepala.
“Camila, ada apa?” aku bertanya lagi, dengan nada sedikit memaksa.
“Kami tadi nggak sengaja ketemu Anthony dan Tante sombong itu. Mereka mengusir kami. Anthony bilang, kami hanya fans yang suka mengganggu.” Camila akhirnya bercerita juga dengan berbisik-bisik. “Kamu tahu, aku pikir Tante sombong itu pacar gelap Anthony!”
Cowok brengsek! Dia berani banget bikin temanku nangis?
“Di mana mereka sekarang?”
“Mungkin masih di lantai dua,” jawab Camila.
Aku menarik tangan Sava agar mengikutiku. “Ayo! Dia harus minta maaf sama kamu!”
“Ta-tapi! Kiri, itu nggak perlu. Aku udah maafin dia koq.” Sava masih saja menjadi orang baik di saat seperti ini. Aku bisa gila karena kebaikannya itu.
Aku nggak mendengarkan Sava. Aku terus memaksanya ikut denganku, mencari Anthony.
***
DAN, BERUNTUNG sekali!
Anthony segera ditemukan dengan mudah di lantai dua mall. Aku segera membawa Sava menuju ke arah Anthony yang sedang berjalan bersama si Tante sombong.
“Anthony, kamu harus minta maaf pada Sava!” ujarku sembari menghentikan langkah Anthony.
“Minta maaf? Untuk apa?” Anthony bertanya tanpa dosa.
Oh, dia munafik banget?!
“Minta maaf, sekarang!” Aku menarik kerah baju Anthony, kesabaranku menipis.
“Hey! Apa-apaan kamu? Security!!” Tante sombong itu berteriak-teriak memanggil keamanan Mall. “Security! Tolong! Anak ini gila! Security!”
Tante sombong itu dalam sekejap membuat kami menjadi pusat perhatian para pengunjung mall yang berada di sekitar kami.
“Satpam! Satpam!!” Anthony tiba-tiba ikut berteriak dan dengan kasarnya berusaha melepaskan tanganku dari kerah bajunya.
Dia berteriak seolah aku mau ngerampok dia. Damn! Dia membuatku semakin kesal saja.
Dan, tanpa kusadari aku sudah melayangkan tinjuku ke wajah Anthony, refleks di saat kesal.
Anthony terjerembab jatuh ke lantai.
“Kamu memang nggak pantas minta maaf atau dimaafkan oleh Sava! Jangan pernah ganggu Sava lagi! Kamu mempermainkan cewek yang salah! Ingat itu!” bentakku memberi peringatan keras.
Oooh, akhirnya aku lega. Sejak tadi aku ingin melakukan itu.
Namun, niatku untuk memberi pelajaran lebih kepada Anthony segera kuurungkan saat aku melihat dua orang petugas keamanan mall berlari ke arah kami. Hanya satu yang harus aku lakukan sekarang. LARI! SELAMATKAN DIRI!!
***
“AKU NGGAK peduli kamu menganggapku bar-bar atau apa, yang jelas aku nggak suka sikap sok sombong kamu. Aku nggak suka menunggui kamu tidur selama tiga jam, aku nggak suka makan sushi, aku nggak suka pergi ke Dufan hanya untuk memainkan permainan yang membuat perutku mual, dan aku sangat nggak suka diperintah-perintah!” Aku menghembuskan napas, lega. Akhirnya bisa keluar semua yang harus aku katakan sejak awal.
Tawa Diaz tiba-tiba meledak. Dia membuatku kaget!
“Apa aku kelihatan lucu banget?”
Diaz mengangguk. “Aku pikir kamu cewek yang membosankan karena hanya bisa mengikuti semua keinginanku. Ternyata kamu cewek yang … penuh kejutan!”
“Apa?”
“Suatu saat kamu harus berkunjung ke rumahku di Barcelona. Aku akan menemani kamu jalan-jalan. Ke mana saja. Seperti kamu menemaniku hari ini.”
“Hah? Se ... serius?”
Diaz mengangguk. “Dan, jangan melakukan hal yang nggak kamu suka lagi. That’s really bad for your health.”
Senyumku mengembang. Dia punya pikiran yang sama denganku! “Hey! Kamu … oh, oke. Kenapa nggak bilang itu sejak awal, orang sok cool?”
Diaz tersenyum. “Aku harus bilang apa? Kamu saja yang bodoh. Kenapa mau mengikuti semua perintahku?”
Aku tertawa, menertawakan kebodohanku. Ya, dia benar, aku aja yang bodoh.
Namun, kemudian tawaku terhenti saat Mama tiba-tiba saja datang.
“Kiriiii!! Apa nggak bisa satu hari, aja, kamu nggak berantem sama orang? Mama lagi meeting waktu Satpam Mall ini menelepon dan bilang kamu ditahan karena memukul orang.”
“Aduuuh. Ampun, Ma. Telinga Kiri jangan dijewer, dong.”
“Setelah kita keluar dari pos satpam ini, Mama mau kamu menandatangi perjanjian untuk nggak memukul siapa pun lagi.”
“Ampun, Ma. Telinga Kiri jangan dijewer lagi.”
Meski harus menghadapi hukuman Mama, tapi aku lega akhirnya bisa menjadi diriku lagi. Seenggaknya, aku nggak harus menyenangkan siapa pun dengan membohongi diri sendiri dan orang lain.
Oh, Mama, jangan jewer aku lagi. Telingaku udah kayak telinga kelinci, nih![]
___________________________________
“Saat kita berusia 4 tahun, adalah penting bagi kita untuk menyenangkan orang lain. Kalau orang lain menyukai kita, mereka akan memberi apa aja yang kita mau. Tapi keadaan berubah saat kita dewasa. Kita memperoleh apa yang kita inginkan dengan menjadi diri kita sendiri, nggak perlu menyenangkan orang lain. bukan hanya sekedar nggak perlu, tapi kalau kita masih terus berusaha menyenangkan orang lain berarti sebagian dari diri kita masih berusia 4 tahun.”
Andrew Mathew - buku Making Friends
No comments:
Post a Comment