
KALA MATAHARI membeku tertutup kegelapan panjang, di sana tak ada suara apa pun terkecuali semilir angin dingin yang menebar pengap bau darah. Ia melangkah waspada. Digenggamnya erat stylo yang tampak seperti tongkat kecil di tangannya, ialah sebuah pena perak berukir wujud burung api yang menyala-nyala merah membara. Dengan langkah-langkah panjang dilewatinya deretan perumahan bernuansa Timur Tengah yang berdiri kokoh berdinding tanah liat merah dihiasi ukiran-ukiran aksara asing yang indah.
Langkahnya menjadi semakin cepat dan cepat ketika di belakangnya kemudian muncul ribuan gagak hitam berkoak ramai, mendobrak keheningan kota dalam sekejap. Sekumpulan burung berbulu hitam dan bermata merah gelap itu semakin mendekatinya, kecepatan terbang mereka lalu mengalahkan kecepatan larinya. Dan terjerembablah ia saat ribuan gagak itu menerkam punggungnya serentak.
Ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan menyembunyikan wajah merapat pada tanah ketika cakar-cakar burung gagak mulai mencabik-cabik mantel yang menutupi punggung dan kepalanya. Pikirnya, jika ia mati di Kota Sarkans maka ini akan menjadi kenakalan terakhirnya. Ah, seharusnya ia tak selalu kalah oleh gengsinya sebagai laki-laki dan rasa ingin tahu saudara kembarnya yang mendorongnya hingga ke tempat ini!
Digunakannya tinta terakhir yang tersisa pada stylo itu, meski seharusnya tinta terakhir itu ia gunakan untuk membuka gerbang keluar dari Kota Sarkans. Ditulisnya sebaris kata di atas tanah merah itu. στάχτεςτουήλιου, sebaris kata yang menyerupai mantra yang menaungi stylo yang ia genggam, mantra abu matahari, stáchtestouí̱liou.
Dua detik setelah itu hujan abu turun dari langit hitam, berguguran seperti awan-awan kelabu yang runtuh, semakin lama semakin deras ciptakan tumpukan di permukaan yang dijatuhinya. Dan cahaya merah membara kemudian menyeruak di antara ribuan gagak yang mengerumuni tubuh bermantelnya, meleburkan ribuan burung bersayap hitam itu di dalam merahnya.
Seekor burung merak api berukuran sebatang pohon beringin tua melebarkan sayapnya terbang rendah di atas punggungnya. Bermandikan hujan abu dan sayap burung-burung hitam, ia bangkit berdiri. Mantelnya terkoyak-koyak di bagian punggung, namun penutup kepalanya masih utuh menutupi kepala dan wajahnya. Aman. Si Penjaga itu tak akan mengenalinya jika dia datang.
Kewaspadaannya tak berkurang, justru bertambah. Jantungnya berdebar keras saat sekumpulan gagak yang masih hidup di hadapannya terbang menjadi satu kumpulan hingga wujud mereka lenyap digantikan tubuh ramping seorang wanita berambut legam, berkulit putih dan berpakaian hitam-hitam, dengan kumpulan kunci aneka warna berkilau tergantung di sebuah cincin besar yang dibawanya.
Sial! Ia mengumpat. Tak akan ia biarkan ada yang mengenalinya. Dan bersamaan dengan merak apinya yang ia tiup hingga mengurai jadi percikan api yang memenuhi seluruh tempat serupa kabut debu merah membara, ia melangkah cepat berlari meninggalkan si wanita berpakaian hitam-hitam itu.
Ia tak ingin tertangkap, terlebih oleh si Penjaga.
***
“Kau tahu, sejak pagi Noche memeriksa semua daftar nama Chatra yang gak pulang ke rumah semalam.” Sin melangkah di samping gadis itu menyusuri padang rumput Nardos yang hijau keunguan seraya menggoyang-goyangkan kuas bergagang kayu miliknya yang sejak dua hari lalu terus menerus hanya mengeluarkan percikan abu biru gelap.
“Lalu?”
“Sebaiknya kau gak menyebut namaku kalau tertangkap.”
Gadis empat belas tahun berambut ikal merah marun itu tersenyum memamerkan dua gigi kelincinya yang menambah manis wajahnya. “Kau takut?”
Sin menaikkan alisnya. “Nggak,” jawabnya kemudian.
“Aku kira kau takut.”
“Nggak!” Sin menyangkal tegas, meski sesungguhnya ia memang sangat takut.
Gadis itu hanya cekikikan. “Hari ini mau main ke mana lagi?”
“Apa?”
“Karena semalam kau sudah kalah, jadi hari ini aku yang tentukan kita akan main ke mana.”
“Ta, tapi … Noche ….”
Gadis itu menghentikan langkahnya, ditatapnya Sin yang berwajah manis melebihi dirinya. Saudara kembarnya itu harus diajari menjadi seorang pemberani, sebab ia adalah anak laki-laki. “Kau takut?”
“NGGAK!” Sin berucap pasti. Dan terlihat olehnya saudara kembarnya menyunggingkan seringai kemenangan.
***
Warna-warna pelangi menghias langit senja saat Sin berpikir haruskah ia menerima tawaran saudara perempuannya itu lagi?
Sin menggeleng. “Gak perlu.”
“Tapi, kau gak bisa menggunakan kefa, kuas, atau apa pun itu yang bulu-bulunya sudah rusak. Jadi pakailah stylo punyaku lagi.” Ia menyodorkan pena peraknya yang berukir indah seekor merak.
Sin menggeleng sekali lagi. “Kuasku masih bisa digunakan. Bukankah kefa ini juga yang kau gunakan untuk membuka gerbang dan menyelamatkanku semalam?”
“Baiklah. Kefa itu lumayan membawa keberuntungan. Atau memang aku saja yang selalu beruntung?” Ia angkat bahu. “Ayo kita ke sana!” ujarnya sembari berjalan mendahului Sin. Ia lalu berhenti di hadapan sebuah pintu kayu berkilat-kilat coklat karamel yang sangat besar, menjulang tinggi hingga ke langit yang tertutup awan. Dengan tinta peraknya di dinding pintu diukirnya huruf-huruf yang menyerupai mantra walau sesungguhnya merupakan bahasa biasa di antara para Chatra, hanya sebaris huruf yang merupakan kata kunci.
Dan, pintu tersebut pun bergeser perlahan. Gemuruh derak pintu bergeser berhimpitan dengan permukaan tanah berbatu dan berdebam kemudian di kedua sisinya saat telah terpentang lebar. Ketika kedua bersaudara itu melintasi pintu dan masuk, tersuguh pemandangan yang tak pernah membuat mereka bosan bahkan—mungkin—untuk seumur hidup mereka.
Sebuah ruangan seluas lapangan sepak bola―bahkan lebih luas lagi―terisi rak-rak besar yang menjulang tinggi hingga ke langit yang berwarna pelangi. Lengkingan sekelompok makhluk separuh singa separuh elang terbang melintas di awan, melewati rak-rak yang dipenuhi milyaran buku hasil karya para penulis dari seluruh dunia. Suara-suara ramai saling bersahutan; lonceng angin, rintik hujan, air terjun, dentingan pedang, percakapan-percakapan, serta suara-suara alam dan barang-barang lain yang berdentang, berdering, dan sebagainya. Bau-bauan pun menyengat; aroma laut, aroma makanan lezat, bau busuk, bau darah, bau langit, bau tanah, bau udara seusai hujan dan bau lain dari berbagai tempat-tempat asing. Dan yang paling kuat terasa adalah pergantian udara; hangat, panas, sangat panas, dingin, bahkan hingga sangat dingin. Pun segala macam pemandangan sekilas-sekilas melintas di langit tinggi; awan gelap, matahari, angin yang membawa salju, naga-naga yang berterbangan seperti sekawanan burung layang-layang dan seluruh pemandangan dari negeri yang pernah dituliskan oleh para penulis di dunia.
Ghalagramata, inilah dia satu ruang di balik pintu besar berwarna karamel itu. Semacam surga bagi seluruh penggemar buku yang pernah mendatanginya. Sebuah tempat yang berisi buku-buku bernyawa yang dapat dikunjungi oleh chatra sesuka hati. Perpustakaan atau gudang buku maha raksasa ini terletak di suatu negeri luar biasa yang bernyawa dikarenakan adanya para manusia yang menulis tanpa henti. Meski sederhananya dapat dikatakan bahwa tempat ini adalah sebuah perpustakaan, namun tak semuanya dapat masuk ke tampat ini. Ada ratusan peraturan yang wajib dipatuhi hanya untuk mendapat izin masuk dan membaca di sini, bukan peraturan yang rumit, juga bukan peraturan yang sederhana.
“Ada sebuah buku, karena bahasanya yang rumit semua manusia dunia atas gak bisa menafsirkannya.”
Sin mengerutkan dahi. “Buku itu―”
Saudaranya mengangguk. “Kita akan membacanya dan mengungkap seluruh isinya!”
“Apa akan lebih misterius dari buku Sejarah Kota Sarkans?”
“Tentu. Kau pernah dengar Voynich Manuscript, kan?”
Sin menaikkan alisnya. Sesaat ia terdiam sebelum akhirnya berucap, WOW! “Itu buku yang bagus!”
“Tentu saja. Karena itulah kita akan bertualang ke dalamnya.”
Sin tersenyum kaku. Kekacauan apa lagi yang akan dibuat saudara kembarnya itu? Sin mengikutinya bukan karena ia anak nakal, bukan pula karena ia tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya, tetapi terlebih karena ia khawatir kepada saudaranya itu. Saudara kembarnya, Qara, ialah seorang anak perempuan yang punya bakat mengacaukan seluruh dunia dan menyeret siapa saja ke dalamnya.
Sementara itu, dari balik mejanya yang berwujud sebidang bundar air yang berpusar tenang di atas awan berwarna pelangi, seorang wanita ramping berambut legam sedang mengawasi setiap Chatra yang sedang membaca di Ghalagramata. Sebagai penjaga Ghalagramata ia tak akan biarkan buku-bukunya rusak. Tak seorang Chatra pun bisa menyelinap dan membuat kerusakan pada buku di Ghalagramata seperti yang terjadi tadi malam, lagi.
Saat ia menemukan pelaku nakal itu, ia akan segera memberinya hukuman berat. Ia tak pernah gagal menangkap pembuat kekacauan.
***

No comments:
Post a Comment