Friday, March 27, 2015

The Steampunk Mermaid : Chapter 1. Coral Island



SUARA GEMURUH lautan mengirimkan bayangan-bayangan yang menakutkan ke dalam kepalanya.

Hanya sekedar mimpi ataukah sebaris ingatan dari masa lalu? Entahlah. Tapi setiap kali ia memejamkan matanya, Sands selalu melihat sesuatu yang sama. Laut dalam yang menyesakkan dan siluet gelap wajah seorang perempuan yang tak dikenalnya.


“Apa yang sedang kau pikirkan?”
           
Suara itu mendesaknya untuk membuka mata dengan terpaksa. Dan ketika matanya terbuka, segala yang ia hindari untuk dilihat pun tak mungkin dihindarinya lagi.
Bau lautan Pasifik yang terbentang di sekelilingnya merasuk ke dalam tenggorokan hingga paru-parunya. Alih-alih merasakan bau lautan yang asin dan menyesakkan, ia justru menemukan betapa segarnya udara saat itu.

Dari atas yacht pribadi yang khusus disediakan untuknya, Sands menatap warna biru yang berkilau ditimpa cahaya mentari pagi. Begitu cerah. Begitu biru. Sepanjang mata memandang semuanya tampak biru dan berkilau, langit dan lautan menyatu. Berada di tempat seperti ini selalu terasa seperti sedang melintasi langit, setidaknya begitulah yang ada di dalam pikiran Sands saat ini.
           
Sekali lagi Sands menghirup udara hingga paru-parunya terasa penuh, kemudian dihembuskannya napas dengan bebas. Meski sesungguhnya ia memiliki satu ketakutan besar terhadap laut dalam, namun laut tetaplah satu bagian Bumi yang selalu tak pernah cukup untuk ia kagumi.
           
“Tidak terlihat satu pulau pun di tempat ini.” Sands mengerutkan dahi. “Kau yakin tidak salah arah?”
           
“Tentu saja tidak.” Rex, sahabat, rekan sekaligus tangan kanannya, menyerahkan sebuah kaca mata hitam yang diambilnya dari dalam saku jasnya kepada Sands. “Sebaiknya kau tidak melihat dengan mata telanjang. Kita punya tekhnologi yang disebut mata ketiga.”
           
Sands menaikkan alis menatap kaca mata yang diserahkan pria yang berdiri di sebelahnya. Dikenakannya kaca mata itu dan segera indera penglihatannya menangkap pemandangan yang membuatnya terperangah. Kekaguman menyergapnya bercampur rasa tak percaya.
           
Sands terkesiap.
           
Laut yang tenang itu tampak seperti hamparan permadani lembut di bawah sebuah pulau satu-satunya yang muncul dari balik udara, seperti sebuah fatamorgana yang sulit dipercaya yang terkuak nyata ke permukaan.

Seiring yacht yang semakin mendekat ke arah pulau tersebut, pemandangan indah pun terwujudkan semakin nyata dan jelas. Suara ombak memecah, menabrak hamparan pasir dan batuan-batuan karang di sana, membuat jantung berdesir karena getarannya. Terpamer pula satu pesona yang paling memikat dari pulau ini, ialah kelompok batu-batu karang yang mengelilinginya; batu-batu karang tersebut tak tampak biasa, semuanya berkilat-kilat hitam dan putih, diukir sedemikian rupa indah hingga sempurna menampakkan wujud perempuan-perempuan manusia berambut panjang terurai dengan separuh badan dari pinggang mencapai kaki berwujud ekor ikan bersisik berkilauan memantulkan cahaya matahari yang menyinari mereka. Begitu detailnya maha karya tersebut hingga memungkinkan setiap yang melihatnya untuk pertama kali akan terjebak dalam pesonanya hingga mungkin terjebak dalam imajinasi tinggi, sungguh karya luar biasa yang dapat menyesatkan pikiran pada kekaguman tak terkatakan.
           
“Pulau ini … pulau apa ini?” Sands tak sedikit pun dapat memalingkan pandangan dari pulau yang begitu memikat jiwa petualangannya dan mengobrak abrik rasa penasaran di dalam dirinya itu.
           
“Ini adalah pulau pribadi milik keluarga Profesor Acqua. Pulau Coral. Sengaja disembunyikan dari umum untuk menjaga keamanannya. Pulau tersembunyi ini diberi nama seperti nama putri keluarga itu. Gishlain Coralyto Acqua,” Rex menjelaskan. Pemuda sepantaran Sands itu tersenyum. “Aku yakin, kau tidak akan dapat melupakan tempat ini nanti.”
           
Sands mengerutkan dahinya. Melupakan? Kemungkinan ‘lupa’ adalah sesuatu hal yang paling dibencinya yang telah diciptakan Tuhan di dunia. Tapi terkadang ia sendiri lupa bahwa ia sangatlah benci pada ‘lupa’. “Aku akan merekam dan mencatat setiap hal yang kutemukan di sana. Tentu aku tak akan lupa.”
           
“Di sana kau harus menemui Zach Spangler.” Rex menyerahkan sebuah buku agenda bersampul hitam. “Ia satu-satunya harapan kita untuk menyelesaikan kasus yang telah hampir kau selesaikan dua setengah tahun lalu.”
           
“Apa aku harus menyelesaikan kasus ini sekarang?”
           
“Tentu saja. Jika kasus ini selesai, kau seharusnya bisa melepaskan semua ini.”
           
Sands menghela. Bahkan sesuatu bernama ‘lupa’ yang kini sering membuatnya linglung tidak sanggup membuatnya melupakan alasannya berada di tempat ini sekarang. Akankah ia benar-benar bisa melepaskan semua yang menjadikannya merasa hidup?

Rex membetulkan letak kaca mata hitamnya. “Apa kau tidak ingin beristirahat? Mengingat kondisimu sekarang, pekerjaanmu saat ini seharusnya tidak lagi mencari-cari orang yang dengan sukarela bersedia melenyapkan nyawamu.”
           
“Maksudmu mencari musuh?” Sands mengangkat alis kirinya. “Apa kau selalu bicara begitu panjang lebar?”
           
“Ini bukan pertama kalinya kau mendengarku berbicara.”
           
Sands tak pernah ingat bahwa tangan kanannya yang berprofesi sebagai pengacara itu sangatlah pandai bicara. Untunglah ia tak pernah ingat, jadi ia tak perlu selalu kesal jika ingat betapa cerewetnya pemuda yang telah menjadi sahabatnya dari entah sejak kapan itu.

“Jika kasus ini selesai—” Sesaat Sands menikmati dalam-dalam setiap pemandangan yang memanjakan kesukaannya akan misteri, sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Ahh, kita lihat saja nanti.”
           
Karang-karang yang berwujud gadis duyung itu seolah memandang dan mengamati tanpa berkedip sebuah yacht kecil yang melewati mereka. Memandangi Rex dan Sands yang mendatangi pulau mereka secara diam-diam.

Sands menelan ludah merasakan udara di sekitarnya berubah lebih dingin. Pertanyaan-pertanyaan tentang pulau yang ia datangi ini berhamburan di dalam kepalanya. Tak ia permasalahkan sebanyak apa pun pertanyaan itu, sebab jika ia tak mencatatnya sekarang pastilah semua itu akan terhapus dan hilang dari ingatannya nanti. Dan pertanyaan-pertanyaan itu sedang tak ingin ia pikirkan dengan serius, sebab ada yang lebih penting dari semua pertanyaan klise tersebut.[]

No comments:

Post a Comment