API DARI perapian menciptakan warna jingga di ruang tengah rumah berdinding kayu yang begitu rapi dan elegan itu, membuat suasana tenang di sana semakin terasa damai dan hangat. Permadani ungu tua terhampar di lantai, sebuah kursi sofa putih memanjang ditemani sebuah meja yang dipelitur mengkilat coklat gelap berada di tengah ruangan, dan sebuah rak buku besar yang dijejeri beragam buku ilmu pengetahuan berada di salah satu sudut ruangan.
Zach Spangler memasuki ruang tengah, di tangannya ada nampan besar berisi roti hangat yang baru dikeluarkannya dari panggangan. Diletakkannya roti yang dibawanya di atas meja ruang tengah. Ia tersenyum puas menatap roti bermandi saos coklat itu. Diliriknya kemudian jam tua yang berdentang kencang di dinding. Berdentang enam kali.
Setelah seharian ia di peternakan dan menghabiskan waktunya di dapur mencoba resep masakan baru, tak sedetik pun dilihatnya anak gadis kesayangannya. Gadis itu juga belum terlihat hingga saat ini, sementara di luar hujan turun semakin deras. Ia selalu khawatir jika anak gadis itu tak terlihat saat ia sedang mencarinya, padahal ia tahu bahwa anak gadis itu bisa menjaga dirinya dengan sangat baik. Mungkin ini hanya nalurinya sebagai seorang ayah.
Suara deritan terdengar, engsel pintu karatan yang termakan zaman itu selalu menciptakan bunyi keras ketika pintu depan dibuka. Serta merta Zach Spangler melangkah ke arah ruang depan. Pasti putri kesayangannya yang datang.
Dan, tentu saja dugaannya tepat. Sebenarnya tidak tepat sepenuhnya, sebab tak hanya putrinya yang datang, melainkan juga seorang pria yang sangat dikenalnya. Sandsaura Diellaskrila, begitu pria ini dikenal di dunia penuh bahaya di luar sana. Tak pernah ada yang tahu identitas aslinya, dari mana sesungguhnya ia berasal atau siapa kerabat dekatnya. Pria ini sangat pandai menutupi siapa dirinya dan sangat pandai pula menghilang kapan pun di saat ia ingin.
Zach Spangler berdiri di depan pintu seperti sedang melihat anak gadisnya baru pulang berkencan dengan seorang pria yang tak disukainya. Ia tak mengundang pria itu, ia tak ingin memikirkan bagaimana pria itu bisa memasuki Pulau Coral tanpa tertangkap radar, ia juga tak peduli apa yang diinginkan pria itu di tempat tinggalnya. Satu hal saja yang ia ingin tahu, apakah pria itu akan membahayakan nyawa Coral, anak gadis yang telah dirawatnya sejak kecil dan telah dianggapnya sebagai putrinya sendiri itu.
“Makan malam sudah siap. Kalian datang tepat waktu.” Zach Spangler berkata santai, senyuman bersahabat ia pamerkan sehangat matahari pagi musim panas. Begitulah ia, meski pikirannya begitu bercabang hingga menyerupai benang kusut tetap saja ia dapat berbicara dengan santai dan tenang.
***
ZACH SPANGLER tertawa ringan menanggapi kalimat pria yang dibiarkannya bersantai dengan bebas di rumahnya. Pria ini tak seperti yang dikenalnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda pada sikap pria di hadapannya itu. Terlalu bodoh dari yang sebenarnya. Sejak mereka berbincang setelah makan malam usai lima belas menit lalu, Zach dapat membaca bahwa pria yang pernah dikenalnya sebagai salah satu anak muda paling berbahaya bagi para penjahat dan kepolisian ini tidak sama seperti ketika mereka bertemu untuk terakhir kali.
Sands baru saja melontarkan kalimat yang menurut Zach sangat lucu, katanya: “Apakah Paman seorang koki? Roti saos coklat tadi sangat enak. Aku baru pertama kali memakan makanan yang seperti itu.”
Zach menganggap pria itu sedang berbasa-basi meski tak terlihat bahwa ia sengaja menanyakan hal-hal yang tidak penting. Namun selama pria itu tidak mengancam keberadaannya dan Coral, ia tak akan memusingkannya sedikit pun.
“Apa kau datang ke pulau ini hanya untuk mengatakan itu?” Zach menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
Sands menggaruk-garuk kepalanya. Matanya menyiratkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu, mencari jawaban dari pertanyaan Zach.
“Jika kau mengunjungi pulau ini diam-diam hanya untuk memuji betapa hebatnya aku membuat roti, kau boleh datang kapan saja ke pulau ini sesuka hati,” ujar Zach bersungguh-sungguh.
Sands memeriksa saku jaketnya hingga ia menemukan sebuah agenda bersampul hitam. Dibukanya agenda itu dan sejenak dibacanya tulisan-tulisan di dalamnya dengan cermat.
“Aku ingin kau membantu menyelesaikan kasus Bermuda,” ujar Sands kemudian. Nada suaranya berubah menjadi lebih serius dari ketika ia sedang membicarakan tentang roti saos coklat buatan Zach.
“Kasus?” Zach menautkan alisnya. Firasatnya terbukti benar, tentu saja pria itu tak mungkin mendatanginya hanya untuk sekedar berkunjung dan membicarakan sesuatu semacam betapa enaknya roti buatannya. Dengan santai Zach menyeruput teh hangatnya lagi, lalu mengembuskan napas. “Apa kau sudah lupa kalau aku sudah tidak mengurusi hal-hal semacam itu lagi?”
“Kau tidak—”
“Aku tidak berminat sama sekali.” Zach bersandar di kursi sofa yang terasa hangat itu, dipandanginya perapian yang meredup. “Apinya sudah akan padam.”
"Aku tidak bisa menangkap orang yang berada di balik hilangnya semua manusia yang berada di dalam kapal-kapal dan pesawat yang terjatuh di Segitiga Bermuda. Aku tidak bisa hingga sekarang. Karena itu…”
“Kau berpikir bahwa dalang dibalik hilangnya orang-orang itu adalah orang?”
Sands menaikkan alisnya. “Itu bukan pekerjaan alam atau makhluk asing. Aku mencatatnya.” Ia mengetuk buku agenda di tangannya.
Zach beranjak dari sofanya. “Aku tidak hidup untuk mengejar jawaban dari rasa penasaran lagi. Semua itu sudah berhenti lebih dari sepuluh tahun. Dan akan berhenti untuk seterusnya.” Ia menguap lebar. “Malam ini tidurlah di ruang tengah. karena kau datang tanpa memberi kabar, aku tidak sempat menyediakan kamar.” Zach lalu melangkah pergi setelah berkata ramah agar tamunya menganggap rumahnya ini seperti rumah sendiri.
Kasus Bermuda. Mengembalikan ingatan Zach sesaat pada masa lalu. Tapi telah diputuskannya, ia tak akan kembali ke dunia yang telah ia putuskan untuk ditinggalkannya itu. Ia sudah merasa sangat cocok dengan dunianya saat ini, bertani dan berternak di pulau yang tersembunyi sepenuhnya dari dunia luar, dari rekan dan musuh-musuhnya.[]

No comments:
Post a Comment