SEKUMPULAN AIR turun dari langit. Rintiknya kecil-kecil dan jarang. Jatuh ke atas permukaan tanah, melembabkannya, dan berebutan menabrak dedaunan hingga semua pohon yang ada di sana basah.
Saat itu menjelang malam, langit di atas Pulau Coral semakin kelam. Pulau Coral memang indah, namun tidak di saat hujan, sebab hujan selalu membuat hutan yang mengelilingi pulau nyaris seperti marah. Suara hujan yang menabrak pepohonan dan gemuruh angin yang memainkan dedaunan tak jarang menciptakan suara-suara menakutkan.
Coral bersin-bersin beberapa kali. Tak peduli pada gemuruh hutan ia melenggang dengan kursi rodanya, menggerakkan rodanya dengan kedua tangannya, berjalan di atas jalan aspal mulus yang sengaja dibuat di sepanjang pulau khusus untuknya. Cahaya dari kedua lampu yang berada di kaki kursi roda yang bersisian itu menerangi jalan di depannya hingga benderang.
Dingin terasa menusuk kulit meski jaket kulit coklat gelap hadiah ulang tahun dari paman Zach yang dikenakan Coral tak dapat ditembus titik-titik air yang kecil-kecil itu. Dilanjutkannya perjalanannya menuju rumah tanpa sejenak pun berhenti untuk berteduh. Ia harus segera sampai ke rumah sebelum Paman Zach tahu ke mana ia telah pergi seharian ini.
Seandainya paman Zach tahu apa yang ia lakukan seharian tadi, pria itu pasti akan mengerut-ngerutkan dahi dan memberi sebuah hukuman tak terduga sambil tersenyum santai. Sebenarnya ia dapat menerima hukuman apa pun, mulai dari wajib membersihkan dan merapikan seluruh rumah di Pulau ini bahkan sampai mengurusi kebersihan kandang-kandang segala jenis ternak peliharaan mereka, kecuali dua hal, harus makan ikan dan tidak boleh bermain-main ke sekitar Merrows Reef lagi.
Coral mempercepat laju roda dari kursi roda yang didudukinya. Kursi roda yang memiliki perpaduan warna coklat dan emas yang bergaya steampunk itu diciptakan dengan begitu detail dan indah. Tiap sisi logam yang menopang kursinya terukir untaian bunga teratai yang cantik, roda-rodanya pun sangat detail dengan lingkaran gerigi-gerigi yang saling melekat dan saling berputar sambung-menyambung seperti roda kereta api uap ketika kursi roda bergerak. Coral telah menggunakannya sebagai alat bantu jalannya sejak usianya delapan tahun, sejak kursi rodanya yang lama rusak. Sudah lebih dari sebelas tahun kini. Baginya, kursi roda itu adalah salah satu benda paling luar biasa yang pernah diciptakan ayahnya, selain kubah tak kasat mata yang telah melindungi pulau tempat tinggalnya sejak mungkin sebelum ia dilahirkan ke dunia, sebab kursi roda itu satu-satunya kursi roda yang tidak rusak meski terbanting, tenggelam di air, atau terlindas truk, tidak pernah sekalipun rusak sejak ia gunakan.
Segala karya yang dibuat oleh ayahnya yang pernah Coral ketahui memang merupakan penemuan berharga yang sangat luar biasa. Seharusnya ia bisa melihat semua karya itu jika saja paman Zach tidak menyimpan beberapa di antaranya secara tersembunyi.
Kembali ke rumah segera! Otak Coral memberi perintah ketika kemudian tangannya tiba-tiba berhenti menggerakkan kursi rodanya. Matanya menangkap pemandangan asing yang tak mungkin ditinggalkannya begitu saja.
Di dekat Danau Shagh Tal―salah satu danau paling memesona yang ada di Pulau Coral―seorang pria berjaket hitam berdiri mematung menatap kunang-kunang di dalam sebuah botol kaca. Pria itu tak dikenalnya, sama sekali tak pernah dilihatnya di pulau ini.
Pelan-pelan penuh keberanian didekati Coral sosok asing itu. Apa yang pria itu lakukan dengan lentera rumah pohonnya? Bagaimana pria itu bisa mendapatkan botol kunang-kunang itu? Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah siapa pria itu dan bagaimana dia bisa berada di pulau milik pribadi ini? Coral memiliki banyak pertanyaan di dalam kepalanya, dan sudah ia rencanakan untuk mendorong pria asing itu ke danau dan menenggelamkannya jika nanti diketahuinya bahwa pria itu adalah orang asing yang jahat.
Pip piiip piiip. Pip pip pip pip. Piiip Piiip Piiip. Pip pip piiip piiip pip pip.[1]
Suara peluit yang ditiup Coral segera membuat pria asing itu mengalihkan perhatiannya ke arah Coral. Mata pria itu melebar menatap polos dengan mulut sedikit ternganga karena kaget. Mungkin ia sedikit kaget menemukan gadis yang berpenampilan unik seperti Coral.
Coral berparas eksotis, bermata biru gelap seperti warna laut di malam hari, memiliki rambut ungu yang panjangnya asimetris antara kiri dan kanan―bagian kanan rambutnya pendek sebahu dan bagian kiri tergerai lurus hingga pinggang, dan berkulit coklat terbakar matahari. Ia memang selalu bisa membuat mata siapa pun melebar saat melihat parasnya.
“W. H … O? Who?” ucap pria itu dengan suara datar kemudian. Dengan jelas ia menerjemahkan apa yang ia dengar, seolah yang didengarnya adalah kalimat biasa saja. Ia menerjemahkan bahasa peluit Coral!
Coral menaikkan alis. Pria asing ini ternyata tidak sebodoh wajahnya yang menyiratkan raut polos anak usia Sekolah Dasar. Coral semakin penasaran akan siapa pria yang ada di hadapannya sekarang. Tidak semua orang bisa seketika mengerti apa yang selalu dilakukannya dengan peluit berwarna perak berbentuk lekukan ikan paus yang tergantung pada rantai tali hitam yang mengalungi lehernya itu.
Pria asing ini adalah orang pertama yang dapat mengerti bahasanya tanpa wajah bodoh penuh tanya seperti yang selalu ditemuinya pada setiap wajah orang-orang baru yang baru pertama kali bertemu dirinya. Seketika pria itu menerjemahkan bahasa morse yang digunakannya sebagai bahasa komunikasi. Sejenius apakah pria asing ini?
“Aku....” Sejenak pria itu tampak kebingungan oleh pertanyaan singkat dari Coral. Pertanyaan yang tidak sulit sesungguhnya, namun pria itu terlalu sering melupakan banyak hal termasuk melupakan nama diri sendiri, dan pertanyaan termudah pun terkadang menjadi sulit baginya.
Ditanyai siapa dirinya, pria itu pun mencari-cari sesuatu yang dapat membantunya mengingat. Ia sedang meraba saku jaketnya ketika ia menemukan sebaris huruf di pergelangan tangan kanannya. Tato huruf-huruf menyerupai gelang melingkar di atas kulit pergelangan tangannya membentuk satu kata. Pria itu tidak ingat kapan tato itu terukir di sana. Namun jika itu bukan namanya, lalu nama siapa lagi?
“...Sands,” pria itu berkata kemudian. Sands, begitulah tato yang terukir di pergelangan tangan kanannya.
Coral meniup peluit peraknya lagi, menciptakan bunyi-bunyi yang indah di antara desir angin dan rintik hujan. Seperti musik yang mengiringi suara nyanyian alam saat itu.
Piiip pip piiip pip. Piiip piiip piiip. Pip piiip pip. Pip piiip. Pip piiip pip pip.
“Coral―” Pria berambut ikal coklat gelap dan berkulit coklat pasir itu tersenyum manis memamerkan wajah semanis anak anjing kecil, sekali lagi diterjemahkannya huruf-huruf yang berasal dari peluit yang ditiup oleh Coral. “Namamu?” tanyanya.
Coral mengangguk seraya mengulurkan tangannya. Menurutnya pria itu bukan orang jahat, karena orang jahat yang mengenalnya dan berniat buruk padanya pasti tidak akan memperlihatkan betapa pintarnya ia dengan terang-terangan seperti yang dilakukan pria bernama Sands ini.
Dengan sikap kaku, pria itu menjabat tangan Coral. “Apa kau selalu bicara menggunakan peluit?”
Coral menganggukkan kepalanya lagi. Daripada bicara dengan sekedar bahasa isyarat tangan yang biasa digunakan orang bisu, ia memang lebih memilih menggunakan peluit dan morse sebagai alat komunikasi. Sebab ia tidak ingin menjadi demikian bisunya hanya karena ia adalah manusia cacat yang tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutnya.
Coral menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar pria itu mengikutinya. Pikir Coral, pria itu mungkin kenalan Paman Zach. Tidak mungkin ia bisa memasuki pulau jika ia bukan kenalan salah satu penduduk di Pulau Coral.[]
[1] Suara tiupan peluit morse dituliskan dengan tanda titik dan garis datar: [. - - : W], [. . . . : H], [- - - : O], & [. .- -. . : tanda tanya (?)].

No comments:
Post a Comment