“UANG TIDAK bisa membeli kebahagiaan. Salah!”
Itulah selogan yang menjadi salah satu andalan A Enterprise. Perusahaan besar yang berdiri menjulang di sebuah pulau pribadi yang terletak di Samudera Atlantik.
A Enterprise bergerak di bidang pengembangan teknologi masa depan. Perusahaan besar ini menawarkan kebahagiaan, kesehatan dan kehidupan baru bagi umat manusia.
Proyek terbesar A Enterprise adalah proyek yang diberi nama Eksperimen La Memoria dan Merm. Kedua proyek ini memiliki kesamaan tujuan yaitu kehidupan baru bagi para kliennya.
Proyek Eksperimen La Memoria yang menjadi andalan dari A Enterprise mengedepankan kebahagian dan kesehatan yang menjadikan otak manusia sebagai salah satu unsur utama dari penelitiannya. Mereka mengatur otak manusia dengan menghilangkan ingatan buruk yang menakutkan dari manusia dan mengembalikan ingatan-ingatan yang membahagiakan, sesuai dengan keinginan klien yang datang kepada mereka.
Sementara, Proyek Eksperimen Merm adalah eksperimen manusia bawah air. Eksperimen ini yang memungkinkan manusia dapat hidup di bawah air pada masa akan datang dan membuat satu dunia baru bagi manusia untuk dijadikan tempat tinggal.
Proyek Eksperimen Merm belumlah seberhasil La Memoria, sebab itu proyek ini masih dirahasiakan dari publik. Bertolak belakang dengan Proyek Eksperimen La Memoria yang telah dikenal oleh para kaum elit dunia yang menjadi klien eksklusifnya.
Dan, tingginya minat kalangan kelas atas pada metode kesehatan La Memoria, elitnya fasilitas yang disediakan, serta mahalnya bayaran yang harus dikeluarkan para klien, secara tidak langsung telah menjadikan A Enterprise sebagai lambang tingginya strata sosial di masa kini.
“LALU, APA yang paling dibutuhkan oleh kebanyakan orang di masa kini? Uang? Pendidikan tinggi? Rumah berfasilitas hotel kelas satu? Pasangan hidup yang sempurna? Pekerjaan yang mapan?” Direktur A menggeleng pelan. “Bukan. Bukan semua itu.”
Layar hologram tiga dimensi yang menampilkan rekaman wajah kesibukan perkotaan dan kehidupan kalangan menengah atas yang berada tepat di belakang Direktur A menjadikan postur tubuhnya yang jangkung hanya berupa siluet hitam di depan layar. Sejenak ia terdiam dan menatap ke arah para pendengarnya yang direfleksikan oleh sosok hologram tiga dimensi laki-laki dan perempuan berpenampilan elegan yang berkilauan dalam gelap, duduk di kursi setengah lingkaran di hadapannya, para calon kliennya yang akan membayar sangat mahal.
Direktur A kemudian melanjutkan, “Yang paling diinginkan semua orang dari dahulu hingga kini adalah kebahagiaan. Perasaan senang dan kesehatan. Dan itulah yang ditawarkan oleh La Memoria. Jasa kesehatan yang akan memberikan kehidupan baru bagi semua klien kami.”
Sebuah ketukan terdengar ketika layar hologram di belakang Direktur A berganti menjadi wajah-wajah yang tak asing di pemberitaan televisi.
“Para klien kami sebelumnya,” ujar Direktur A, mengabaikan ketukan yang terdengar. “Para Aktor, Aktris, Pengusaha...”
Kembali ketukan terdengar, kali ini disusul suara langkah kaki bersepatu hak yang menghentak lantai. Lalu sosok seorang perempuan bertubuh langsing muncul dari balik gelap. Sosok itu berjalan ke arah Direktur A dengan langkah terburu-buru.
“Sekretaris Casidy, kami sedang rapat,” ujar Direktur A, berusaha mengingatkan perempuan itu.
Namun, usaha Direktur A gagal. Perempuan itu tak menggubris kalimatnya. Ia tetap melangkah ke arah Direktur A, kemudian membisikan sesuatu yang membuat suasana hening dalam waktu cukup lama.
Direktur A berdehem ketika perempuan itu selesai bicara lirih di telinganya. Ia kembali menatap ke arah calon klien-kliennya. “Pertemuan kali ini lebih singkat dari biasanya. Tapi kita akan bertemu kembali di perusahaan kami, jika Anda semua bersedia datang memenuhi undangan yang akan kami kirimkan. Terima kasih atas waktu Anda hari ini.”
Direktur A mengeluarkan sebuah pena perak dari saku jasnya kemudian menekan tombol yang terdapat pada bagian atas pena itu, dan dalam sekejap seluruh hologram tiga dimensi yang berada di sekitarnya menghilang jadi kepingan cahaya biru yang perlahan tergelam di kegelapan. Gelap di sekitarnya pun luntur digantikan warna putih seluruhnya, hingga tampak sebuah ruangan serupa kubus terang benderang yang hanya diisi sebuah kursi berbahan kulit berwarna hitam dan sebuah meja pualam hitam mengkilat berbentuk angka delapan di salah satu sudut ruang, dan di tengah-tengah ruangan tampak kursi kuning gading setengah lingkaran yang terbalut ukiran indah bunga teratai.
Direktur A kini tampak lebih dari sekedar siluet hitam. Pemuda berkulit putih, berambut gelap, bertubuh jangkung dan berparas oriental itu mengenakan pakaian hitam-hitam dari perancang ternama. Sepatu yang mengkilat, celana panjang dan jas yang membalut tubuhnya keseluruhan tampak mahal.
Direktur A menatap ke arah perempuan langsing berkulit kecoklatan yang mengenakan kemeja hitam dibalik bolero merah dan rok pendek di atas lutut yang juga berwarna merah senada dengan sepatu hak tinggi yang dikenakannya.
“Jadi, dia sudah ditemukan?” tanya Direktur A, memastikan.
Perempuan langsing berparas latin dan bermata hijau, yang menyanggul rapi rambut hitamnya itu mengangguk. “Sudah dipastikan. Dia telah ditemukan.”
Direktur A mengangguk. “Kirim agen kita ke sana segera.”
“Baik.” Perempuan itu kembali mengangguk. “Mengenai ini, Presdir A sudah mengetahuinya. Dan ia ingin bertemu Anda saat makan malam nanti.”
Direktur A menaikkan alisnya. Presdir A, ayahnya, sudah tahu? “Bagaimana dia tahu? Apa kau melaporkannya?”
“Anda tidak perlu mencurigai saya.”
Direktur A menatap seraya tersenyum, dia tidak bisa untuk tidak mencurigai perempuan itu. “Jika kau memata-mataiku dan melapor padanya tentang pekerjaanku, kau tahu kalau posisimu bisa kugantikan kapan saja.”
Perempuan itu balas tersenyum. “Tentu,” jawabnya tenang.
Direktur A sangat benci melihat sekretaris perempuan yang ditempatkan sang Ayah sebagai sekretarisnya itu tampak tidak takut sedikit pun padanya yang seharusnya memiliki pengaruh besar untuk berkuasa dan ditakuti.
“Di pihak mana kau berdiri sebenarnya?” Direktur A kesal.
“Saya selalu berpihak pada A Enterprise,” jawab Sekretaris Casidy tetap dengan sikapnya yang selalu tenang.
Direktur A tidak pernah ingin berlama-lama di samping perempuan itu, ia tidak bisa menembus pikiran sekretaris seksi setenang danau tak terjamah ini dan ia tidak suka saat seseorang tidak mampu dikuasainya. Ia pun melangkah pergi meninggalkan sang sekretaris tanpa permisi.
“Jika Presdir menanyakan keterlambatan Anda, saya akan memberi alasan untuknya. Direktur, bawalah payung jika ingin keluar, sepertinya akan turun hujan.”
Suara Sekretaris Casidy masih terdengar oleh Direktur A saat ia menjauhi ruangannya. Perempuan itu terkadang seperti cenayang, kali ini ia bahkan bisa tahu Direktur A akan keluar dari kantor karena ingin menghindari bertemu ayahnya malam itu.
Terkadang Direktur A tidak mengerti apakah perempuan itu memihaknya atau sang Presdir, terlebih perempuan itu menjadi sekretarisnya atas keputusan sepihak sang Presdir. Direktur A berpikir untuk mengambil kesetiaan perempuan itu sepenuhnya di pihaknya, pasti akan menyenangkan mengalahkan sang Ayah yang selalu memaksakan kehendaknya itu nanti.[]

No comments:
Post a Comment